Wakil Presiden Jusuf Kalla memastikan bahwa kenaikan BBM akan dilakukan pada November ini. Sebesar apa kenaikannya, itulah yang masih terus dikebut oleh tim ekonomi di bawah kendali Menko Sofyan Djalil. Ada rencana untuk menaikkannya dalam kisaran 2 ribuan rupiah.
Tampaknya Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla memang tidak ingin berlama-lama. Mereka ingin mengebut mendapatkan dana pembangunan sebagaimana mereka janjikan. Pembangunan skala masif itu dibutuhkan untuk membangun bendungan, membangun tol laut, membangun jalan, membangun pertahanan, membangun rumah sakit dan sekolah, membangun hal lainnya. Mengikuti istilah Presiden Jokowi: membangun, membangun dan membangun.
Selama ini dana pembangunan hampir bisa dikatakan nol besar. Sebagian besar dana habis untuk mensubsidi BBM. Selama lima tahun terakhir, besar subsidi BBM telah mencapai total Rp. 1.300 triliun. Dalam lima tahun ke depan jumlahnya akan membengkak jika tidak dilakukan penghematan.
Sementara itu, selama 10 tahun terakhir, upaya mengendalikan kebocoran pembangunan juga hampir tidak pernah bisa diselesaikan. Kebocoran pengeluaran di sektor migas malah makin menjadi-jadi karena dijadikan lahan bancakan para koruptor yang bergabung bersama para politikus. Rente biaya tinggi dipelihara untuk dinikmati para petualang politik dan pengusaha kotor. Biaya-biaya rapat, amat mencengangkan pemerintahan baru. Perjalanan dinas dan perilaku hidup birokrasi menambah banyaknya pengeluaran negara. Maka praktis biaya untuk membangun negara ini sama sekali tidak ada lagi.
Maka tidak heran, Presiden Jokowi tidak mau kehilangan momentum. Dalam UU APBN 2015, tercantum klausul bahwa untuk menaikkan harga BBM harus atas persetujuan DPR. Sesuatu yang tidak ada dalam APBN 2014. Maka mumpung lagi bisa melakukannya, Presiden Jokowi tidak ingin gagal. Ia ingin mengubah postur APBN kita secara masif dan mungkin akan selamanya. Lagipula jika nanti karena konflik di parlemen dan APBN 2015 ditolak, maka APBN 2014 yang berisi kenaikan BBM akan digunakan kembali, ruang ekspansi masih terbuka lebar.
Pemerintah ini memang menargetkan untuk mencegah berulangnya kebocoran. Namun yang paling penting adalah "mengirimkan" subsidi kepada pihak yang seharusnya. Selama ini subsidi sering menggunakan nama orang miskin. Katanya subsidi diberikan untuk orang miskin makanya tetap dipertahankan. Bahkan harga BBM pernah diturunkan demi katanya keberpihakan. Tetapi nyatanya BBM yang ada ternyata digunakan lebih banyak kepada kendaraan bermotor orang kaya dan mampu. Inilah yang disebut sebagai kebijakan yang menggunakan orang miskin dan status yang disandangnya hanya sebagai simbolic profit. Keberadaan mereka yang miskin hanya dijadikan keuntungan kepada pihak lain yang terus menerus mendapatkan keuntungan dari orang miskin.
Dalam jangka panjang, BBM berbasis kepada minyak memang akan segera habis. Kita tidak mungkin bisa mendapatkannya lagi. Sementara dalam UUD jelas menyebutkan bahwa segala kekayaan alam ini dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat banyak.
Jadi ini bukan soal pencitraan sebagaimana disebarluaskan oleh beberapa pihak. Ini persoalan pada keadilan dan kepentingan jangka panjang negeri ini. Kalau soal pencitraan, Presiden Jokowi sudah mendapatkannya jauh lebih banyak dari yang pernah diperoleh orang paling populer di negeri ini. Kenaikan harga BBM adalah keniscayaan.
(***)