Ada kabar mengejutkan dari Kementerian PAN dan RB. Menteri Yudi Chrisnandi mengungkapkan bahwa pemerintah akan menghentikan sementara formasi penerimaan CPNS setidaknya selama 5 tahun ini. Hal ini disebabkan karena akan dilakukan penghitungan formasi dan penyesuaian jabatan. Diperkirakan, jumlah 4,6 juta PNS selama ini memadai untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Keberadaan PNS memang sarat dengan persoalan. Kajian mengenai jumlah ideal beserta dengan jabatan dan posisi yang ada tidak pernah diumumkan kepada publik. Yang ada hanyalah soal penerimaan PNS yang penuh dengan masalah pula. Selalu ada isu mengenai sogok menyogok termasuk yang kini diduga melibatkan salah seorang petinggi daerah di salah satu wilayah di Provinsi Sumatera Utara ini.
Kementerian PAN dan RB sudah melakukan penataan mengenai birokrasi tetapi tidak pernah bisa menata efisiensi PNS. Padahal sebagai sebuah kekuatan penopang kinerja pemerintah, yang penting adalah mengetahui keberadaan PNS dan kemudian alokasinya secara tepat. Barulah bisa bergerak.
Salah satu persoalannya adalah karena PNS yang ada selama ini memang terkesan mubazir. Kinerja PNS di hampir seluruh kementerian tidak pernah ada. Yang ada hanyalah gaji yang diterima secara rutin. Sementara setiap hari, beban kerja dan produktivitas tidak pernah digunakan untuk menilai prestasi. Pada beberapa jabatan dan lembaga seperti di Kementerian Keuangan dan LIPI, memang ada perhitungan beban kerja dan capaian setiap orang. Berdasarkan itu maka hitung-hitungan tunjangan dan jabatan bisa dikalkulasi. Tetapi lebih banyak yang tidak melakukannya.
Alih-alih menjadi penopang program pemerintah. PNS malah banyak yang digunakan untuk melayani kepentingan kekuasaan. Setiap ada pemilihan kepala daerah, maka PNS digunakan sebagai bumper, entah itu untuk menopang incumbent, atau untuk menjadi alat melawan kandidat lainnya. Banyak personil PNS dilibatkan sebagai tim sukses secara diam-diam demi kepentingan mereka yang ingin mendapatkan kedudukan dan kekuasan. Ancamannya jelas, yaitu pencopotan dari jabatan yang didudukinya.
Dan yang juga menarik sebagai isu dalam persoalan PNS ini adalah penyimpangan pekerjaan sehingga terjebak ke dalam korupsi. Banyak PNS yang masih usia muda melakukan tindakan nekad dengan cara merampok uang negara untuk digunakan menjadi kepentingan pribadi. Ketua KPK Abraham Samad secara khusus pernah menyoroti masalah ini dan menjadikannya sebagai sebuah masalah yang harus diatasi.
Yang disorot oleh tim Jokowi sebelum pelantikan adalah borosnya PNS dan birokrasi. Biaya rapat dan perjalan dinas mencapai Rp. 18 triliun, sebuah angka yang fantastis dan berlebihan. Salah satu sebabnya adalah karena para PNS lebih sering menyewa hotel untuk rapat daripada menggunakan bangunan yang sebenarnya ada. Itulah yang kemudian diubah dengan menggelar pertemuan Gubernur dan Kapolda se-Indonesia "hanya" di Gedung Serba Guna Kementerian Dalam Negeri.
Kita setuju moratorium ini tetapi seharusnya juga menjadi pintu masuk reformasi birokrasi yang sesungguhnya. Bukan menghentikan seleksi CPNS baru yang penting, tetapi menggunakan analisis jabatan untuk setiap jenjang birokrasi plus menyusun metode penilaian kinerja berbasis pada produktifitas. Tidak ada gunanya menambah-nambah jumlah PNS yang hanya bekerja seadanya dan tidak bisa menolong memberikan pelayanan kepada masyarakat yang membutuhkan.
Kita dorong kebijakan ini sembari meminta blue print moratorium CPNS bisa dijelaskan kepada masyarakat.
(***)