Persoalan kolom agama di KTP menjadi salah satu perdebatan beberapa hari terakhir ini. Adalah Menteri Dalam Negeri yang mengatakan bahwa kolom agama agar dihilangkan. Diprotes, kemudian Wakil Presiden Jusuf Kalla menyatakan bahwa kolom agama tidak dihilangkan. Tetapi dikosongkan jika pemeluk agama dan kepercayaan lain tidak bisa ditampung di dalam kolom tersebut.
Persoalan pencantuman agama dan kepercayaan yang berbeda dari yang diakui oleh pemerintah selama ini, yaitu agama Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Budha dan Kong Hu Cu memang telah menyebabkan persoalan. Di berbagai belahan wilayah di Indonesia ini, masih banyak pemeluk agama suku yang tidak diakui keberadaannya karena pengakuan negaralah yang menentukan.
Di Sumatera Utara, sebagai contoh, terdapat agama Parmalim yang tersebar di Tobasa, Simalungun, Tapanuli Utara serta Medan. Jumlahnya diperkirakan sekitar 6000 penganut. Sayangnya selama ini mereka tidak pernah diakui bahkan dipaksakan memeluk salah satu agama yang "diakui" pemerintah. Alhasil, keberadaan mereka sangat tidak diakui. Beberapa kasus pemeluk agama Parmalim ini ditolak bekerja bahkan menjadi CPNS sekalipun karena mencantumkan keyakinannya berbeda dari yang diakui oleh pemerintah.
Keberadaan mereka padahal merupakan bagian dari agama suku dan aliran kepercayaan lain di Indonesia. Menurut Data Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata pada tahun 2003, ada 245 aliran kepercayaan yang terdaftar dengan total pengikutnya mencapai 400 ribu jiwa. Jumlah ini tentunya tidak sedikit. Faktanya, angka ini kemungkinan lebih besar lagi karena menurut data Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA), di Jawa Tengah saja terdapat 296 aliran kepercayaan. Data eLSA itu jauh melampaui data resmi di tingkat nasional. Mereka-mereka inilah yang selama ini tidak pernah diakui keberadaannya dan di kolom KTP dipaksa mengikuti aturan yang ada.
Persoalan pemaksaan ini sebenarnya sudah diatur di dalam UU Administrasi Kependudukan 2006 dan PP tahun 2007 yang di dalamnya menyebutkan bahwa kolom agama bagi penduduk penghayat kepercayaan tidak diisi. Sayangnya pada praktiknya di lapangan yang terjadi justru seperti diuraikan di atas.
UU Administrasi dan turunannya juga menyebutkan mengenai sanksi bagi mereka yang memalsukan identitas kependudukan. Dalam pasal 98 ayat 1 mengacu ke pasal 93 menyebutkan bahwa pejabat dan petugas pada penyelenggaraan dan instansi pelaksana yang memalsukan surat dan/atau dokumen dipidana maksimal 6 tahun penjara dan denda terbanyak Rp 50 juta, ditambah hukuman penjara satu pertiga. Ini artinya petugas di lapangan bisa terkena akibat hukum jika melakukan pemaksaan kepada pemeluk agama dan kepercayaan yang berbeda tetapi diminta memilih agama yang ada.
Semua serba teledor dan sulit karena dari atas tidak dibenahi dengan baik. Karena itulah, ini momentum yang baik untuk membenahi pengakuan negara terhadap agama suku dan kepercayaan yang ada. Dibutuhkan langkah cepat memang dari pemerintah supaya sistem yang ada menjunjung tinggi hak setiap insan untuk memeluk agama dan kepercayaannya. Agama dan kepercayaan tidak bisa dipaksakan apalagi "disesuaikan" hanya karena pemerintah tidak bisa mengantisipasi agama dan kepercayaan yang berbeda.
Harus kita akui bahwa selama ini mereka yang berbeda itu sudah cukupĀ menderita. Berbagai tekanan kehidupan harus mereka alami, sementara perlindungan dari negara sering sekali jauh dari memadai. Mereka seolah tidak menjadi salah satu dari warga negara di Indonesia ini. Kita sudahi itu semua
(***)