Apa akibatnya ketika konflik dibiarkan berlarut-larut? Tak mudah menyatukannya. Itulah yang terjadi pada KMP dan KIH, dua blok yang berseteru di parlemen. Bahkan karena itu mereka sampai sekarang tidak pernah melaksanakan rapat dengan mitra kerja mereka di pemerintahan.
Beberapa kali rencana pertemuan kemudian dibatalkan, termasuk dengan Menteri Kesehatan, Kapolri, Menteri Hukum dan HAM. Pemerintah beranggapan bahwa DPR harus menyelesaikan terlebih dahulu masalah mereka, baru bisa mengundang pemerintah. Suatu argumentasi yang masuk akal daripada kemudian pemerintah dituding memperkeruh suasana. Boleh-boleh saja KMP menguasai parlemen, tetapi mitra kerja mereka di pemerintahan, adalah juga dari Parpol yang berseberangan.
Terakhir kita mendengar rencana jika kedua blok itu akan berdamai danĀ menandatangani semacam kontrak bersama. Tapi nyatanya hal tersebut tidak terwujud. Kedua belah pihak lagi-lagi undur dari janji kepada publik soal ini. Mereka mengabaikan tuntutan publik kepada mereka. Memakan gaji buta, sebagaimana disampaikan politisi Partai Demokrat Ruhut Sitompul terbukti benar adanya. Bekerja atas nama rakyat tetapi tidak menjalankan tugas tersebut, sama saja dengan memakan gaji buta.
Kesadaran kolektif memang amat rendah di parlemen. Mereka tidak merasa bahwa tugas dan tanggung jawab mereka adalah melaksanakan fungsi mereka di parlemen. Sebab untuk itulah mereka dipilih. Sayangnya kepentingan kekuasaan memang sangat mendominasi.
Salah satu pasal krusial yang rawan penolakan di elit Parpol adalah soal hak menggunakan pendapat. Di beberapa pasal dalam UU MD3 memang terkesan bahwa anggota legislatif melalui DPR dapat memanggil pejabat negara serta menjalankan rekomendasi yang mereka sampaikan. "Hak" inilah yang dinilai aneh oleh KIH karena dituding tidak menghormati kewenangan Presiden sebagai Kepala Pemerintahan, yakni DPR bisa memberikan "hukuman" berupa rekomendasi sanksi. Bagaimana mungkin dengan hak yang dimilikinya, DPR bisa memberikan pula kepada dirinya kewenangan dimaksud?
Inilah yang tidak mudah diselesaikan. KIH ingin supaya pasal-pasal "karet" demikian bisa dihapus, karena menganggap bahwa penerapan pasal tersebut akan tidak sesuai dengan prinsip sistem presidensial yang kita anut, yaitu Presidenlah yang memiliki kekuasaan secara prerogatif untuk mengelola pejabat pemerintah.
Menurut KIH, jika prinsip ini digunakan secara berlebihan, ada kesan bahwa pemerintahan itu dilakukan bersama-sama, satu yang dipimpin presiden dan satu lagi yang "dipimpin" secara tidak langsung oleh parlemen. Sementara KMP tetap ngotot bahwa pasal yang diperbaikinya hanyalah pasal yang berhubungan dengan penambahan kursi alat kelengkapan dewan yang mengakomodasi anggota KIH untuk duduk di dalamnya.
Inilah yang kita hadapi kembali. Mustahil perdamaian ini tanpa urusan kekuasaan. Mustahil wakil rakyat di parlemen sana hanya memikirkan urusan rakyat. Mereka lebih acuh kepada kepentingan mereka dan kekuasaan mereka. Menggunakan tameng rakyat hanyalah suatu cara untuk mengecoh kita.
Kita teringat dengan prinsip kaum Machiavellian. Ide yang menyerap konsep Machiavelli untuk mempertahankan kekuasaan itu adalah melakukan apapun cara untuk menjaga kekuasaan itu sendiri. Ya apapun cara. Manakala kekuasaan hendak dipertahankan maka DPR menggunakan kewenangannya untuk mengutak-atik UU yang mereka buat sendiri. Mereka tidak malu melakukannya karena memang tidak berkehendak menunjukkan UU tersebut kepada rakyat. Alhasil, ketika pun nanti berdamai, tetapi bekerja bukan untuk kepentingan rakyat, itu tetap juga memakan gaji buta.
(***)