APA yang membuat rata-rata akuntabilitas pemerintah (AKIP) di Sumut rendah? Apakah aparatur pelayan masyarakat berbagai pemerintahan kabupaten dan kota di Sumut tidak malu dengan rendahnya AKIP ini? Sementara tema demokrasi adalah dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat. Yang memilih pemerintah (kepala daerah) adalah rakyat. Sewajarnya pemerintah daerah lebih takut kepada masyarakat karena sumber wewenang dan kekuasaan yang dimiliki oleh kepala daerah adalah rakyat sebagai pihak yang harus bertanggung jawab penuh.
Rendahnya AKIP berbagai Kabupaten dan Kota di Sumut harus jadi pembelajaran bagi semua Pemkab dan Pemko. Tata kelola pemerintahan masih jauh dari harapan dan bukan deskripsi pelayan yang amanah. Pemerintah punya tanggung jawab moral dalam hal pelayanan publik yang prima. Bagaimana pelayanan publik yang prima bisa jalan jika kinerjanya lemah.
Jika kita lakukan evaluasi objektif secara sederhana, apa yang membuat AKIP ini cenderung rendah karena pola pendudukan orang di jabatan bukan berdasarkan kemampuan dan kapabilitas. Yang sering terjadi adalah perkoncoan atau kolega. Akibatnya semua pekerjaan dilakukan bukan sepenuh hati, hanya untuk menyenangkan si kepala daerah selaku pemberi jabatan.
Kolusi seperti ini jika terus dibiarkan akan jadi masalah nasional dan mengganggu pelayanan publik yang sesungguhnya. Sementara pemerintah selalu mengumumkan kepada rakyat bahwa mereka adalah pelayan publik. Pelayanan bisa jalan jika kinerja benar-benar bagus. Kinerja yang bagus disokong oleh SDM yang bagus pula. Jika SDM bagus, plus integritas bagus maka percepatan pembangunan dan pelayanan akan jalan dengan sendirinya. Ini tidak, sudah rahasia umum, di lingkungan internal organisasi Pemda yang diduga terjadi adalah lobi jabatan.
Bahkan masyarakat sendiri sudah seperti menyimpulkan, bahwa cara apapun dilakukan, termasuk maraknya budaya setoran kepada si kepala daerah. Apakah hal ini harus terus dibiarkan jadi konklusi iponi yang berkembang? Tentunya bisa membahayakan pelayanan publik kepada masyarakat kita. Tentu tidak. Harus ada tekanan kepala daerah agar mampu mereformasi dirinya dan pemerintahannya supaya lebih tertata dengan baik.
Kalau kita lihat kinerja Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB) dalam melakukan penilaian berbagai indikator, banyak Pemkab dan Pemko di Sumut mengalami rapor merah, bahkan tinggal kelas dari nilai yang ideal. Sebagai contoh yang nilainya D (kurang) masih ada seperti, Kabupaten Karo, Labuhan Batu, Nias Barat, Nias Utara, Kota Pematang Siantar dan Humbang Hasundutan.
Sementara, yang mendapat nilai C (agak kurang) adalah Asahan, Dairi, Labuhan Batu Selatan, Labuhan Batu Utara, Langkat, Nias, Nias Selatan, Padang Lawas, Samosir, Serdang Bedagai, Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah, Toba Samosir, Kota Binjai, Kota Tanjung Balai , dan Gunung Sitoli. Sedangkan yang mendapat nilai CC (cukup baik/memadai) hanya empat, yakni Pakpak Barat, Kota Medan, Kota Sibolga, Tebingtinggi. Memang, hanya 26 kabupaten/kota di Sumut yang dinilai tahun ini, tapi terlihat tidak ada kabupaten/kota yang mendapat nilai B.
Pertanyaan kembali, mengapa ini bisa terjadi? Dimana keseriusan Pemkab dan Pemko dalam melakukan reformasi birokrasi sebagai upaya mengembalikan pemerintahan sebagai pemerintahan rakyat? Untuk itu pembenahan harus dilakukan agar hal ini jangan terulang kembali pada tahun -tahun berikutnya.
Terlebih Asdep Reformasi Birokrasi, Akuntabilitas Aparatur dan Pengawasan Kemenpan-RB, Gatot Sugiharto mengatakan, evaluasi akuntabilitas kinerja dilaksanakan setiap tahun. Evaluasi mencakup review dan evaluasi atas aspek perencanaan kinerja, aspek pengukuran kinerja, aspek pelaporan kinerja, dan aspek evaluasi kinerja internal, serta aspek capaian kinerja output dan input serta kinerja lainnya. Semoga evaluasi Kemenpan dan RB ini bisa jadi pelajaran bagi semua Pemkab dan Pemko di Sumut untuk melakukan pembenahan sebagai upaya percepatan pelayanan publik yang prima dan percepatan pembangunan. Minimum, paling tidak untuk dapat memulihkan opini negatif di masyarakat sebagai modal awal menuju "effective governance", bukan sekedar "good governance".
(#)