Perbudakan modern masih saja terus terjadi di Indonesia dan memakan korban. Ini yang terjadi baru-baru ini di Medan. Satu keluarga melakukan penyiksaan terhadap Pembantu Rumah Tangga (PRT) sampai tewas dan membuangnya. Beruntung, ketika polisi menggerebek rumah tersangka, masih ada 3 PRT lain yang juga mengalami nasib yang sama, dipukul dan disiksa. Mereka disebut akan diperdagangkan dengan harga sekitar Rp. 15 juta.
Perbudakan modern ini bukan hanya menghasilkan PRT di dalam pasar domestik, tetapi juga di kawasan internasional dengan nama yang lebih mentereng, yaitu TKI. Di sini dan di sana, para pekerja tersebut bekerja keras dan jika beruntung mendapatkan bayaran yang setimpal. Tetapi kebanyakan menderita dan atau disiksa oleh majikannya.
Mengapa kita menyebutnya perbudakan modern? Karena sesungguhnya hal tersebut merupakan perbudakan, tetapi dalam bungkus yang sangat halus, yaitu kebijakan resmi. Mereka bisa bekerja karena negara-negara memberikan kebijakan yang mengakomodasi keberadaan para pekerja-pekerja ini, bahkan dalam beberapa kasus, negara justru melanggengkannya.
Dalam angka absolut, Tiongkok memiliki jumlah tertinggi korban perbudakan modern di Asia Timur, yaitu 3.241.400 orang, yang diikuti oleh Indonesia (714.100), Thailand (475.300) dan Vietnam (322.200). Perkiraan tersebut didasarkan pada Indeks Perbudakan Dunia (GSI) 2014, yaitu laporan penelitian tahunan yang meliputi 167 negara di dunia dan diterbitkan oleh Walk Free Foundation, organisasi hak asasi manusia dunia yang bertujuan untuk mengakhiri perbudakan modern dalam satu generasi.
Perbudakan modern tidak pernah bernasib baik. Masih ingat dengan satu keluarga di Tangerang, yang menyekap para pekerjanya dalam sebuah kompleks pembuatan wajan? Di lokasi pabrik, polisi menemukan tidak kurang dari 40 korban yang berusia rata-rata 20 tahun, 5 di antaranya berusia di bawah 18 tahun. Kondisi mereka semuanya tidak menggunakan baju dengan seluruh badan legam karena efek mengolah limbah timah. Mereka kerap dianiaya dan dipaksa kerja lebih keras oleh pemilik perusahaan. Selain itu pemilik juga membayar upah sangat murah yaitu hanya Rp 600 ribu per bulan dengan jam kerja pukul 06.00 - 18.00 WIB setiap harinya. Benar-benar keterlaluan.
Bukan hanya di dalam negeri. Korban perbudakan modern juga bermunculan melalui berbagai pengadilan. Untuk membela dirinya, banyak TKI yang kemudian melakukan tindakan nekad, antara lain membunuh majikannya atau melakukan tindakan pelanggaran hukum lainnya. Mereka tidak jarang pulang tinggal nama karena dibunuh atau tewas karena alasan yang tidak diketahui di negeri orang. Semuanya adalah duka para budak modern yang satu demi satu muncul menjadi kasus-kasus yang amat jarang menghasilkan perubahan. Negara amat jarang menjadi pembela TKI. Negara bahkan abai terhadap jaminan keselamatan dan kesehatan mereka sebelum berangkat bekerja.
Tidak heran jika dalam blusukannya, Menteri Tenaga Kerja pernah murka ketika mengetahui salah satu pengerah TKI memperlakukan para calon TKI yang akan berangkat dengan sangat tidak manusiawi.
Teleconference Presiden Jokowi dengan sejumlah TKI dari berbagai negara telah menghapus Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri (KTKLN) yang hanya berfungsi memeras para TKI. Oknum-oknum pemerintah sendiri yang menjadikan para TKI sebagai budak legal. Ini memang harus dihentikan dengan menegakkan aturan keras kepada para pengerahnya. Kepada keluarga yang memperlakukan PRT-nya dengan tidak manusiawi, sanksi hukum yang keras dan tegas juga pantas diberikan. Manusia bukan budak yang bisa diperlakukan seenaknya.
(***)