Salah satu hal menarik belakangan ini adalah penolakan pejabat negara oleh masyarakat. Salah satu di antaranya adalah Gubernur DKI Jakarta yang akrab dipanggil Ahok. Ahok, ditolak oleh sebagian masyarakat DKI Jakarta. Mereka yang bergabung ke dalam Gerakan Masyarakat Jakarta (GMJ) tersebut malah "melantik" gubernur tandingan mereka.
Alasan penolakan Ahok memang sarat dengan makna ketidakikhlasan. Mereka menolak Ahok, menurut Refly Harun, setidaknya karena tiga hal, yaitu Ahok adalah non-muslim, warga keturunan Tionghoa, dan pendatang di Jakarta. Praktis, jika kita melihat demonstrasi yang diselenggarakan oleh GMJ, kita memang menyaksikan dengan jelas bahwa alasan-alasan tersebut memang dijadikan dalih oleh mereka.
Bagaimana situasinya jika pendapat tersebut dijadikan kebenaran di negeri ini? Apakah mungkin masyarakat Sumatera akan rela dipimpin oleh presiden bersuku Jawa? Apakah rela masyarakat Sumatera Utara misalnya dipimpin oleh gubernur yang bukan Batak? Apakah rela masyarakat Medan, misalnya, melibatkan tokoh Tionghoa di dalam membangun Kota Medan?
Rasanya tentu tidak jika statement-nya GMJ diikuti. Tetapi itulah yang ternyata masih hidup dan berkembang di sebagian masyarakat kita. Mereka masih merasa bahwa Indonesia ini adalah milik mayoritas. Kalau demikian, kemana konstitusi yang menjamin hak hidup semua warga negara Indonesia di bawah NKRI?
Adalah para pendiri negara ini yang sudah meninggalkan perdebatan soal itu. Ketika di awal berdirinya negara ini berdebat mengenai pentingnya agama di dalam konstitusi, kompromi pun digelar dan alhasil perdebatan mengenai hal itu dihentikan. Mereka berpandangan bahwa tidak mungkin mempertahankan Indonesia ini jika keinginan mayoritas diikuti. Indonesia bukanlah milik sebuah kelompok yang seragam, karena Indonesia milik suku-suku yang berbeda-beda sejak dulu. Klaim ke-Indonesiaan bukanlah klaim sepihak. Tetapi di dalamnya ada makna penting, yaitu pengakuan atas perbedaan.
Maka terenyuhlah perasaan kita ketika mantan Presiden Megawati menyatakan bahwa kita tidak lagi berbicara soal perbedaan. Itu harus kita tinggalkan. Itu tidak penting lagi karena sudah diselesaikan oleh pendiri negeri ini bertahun-tahun yang lalu. Yang penting sekarang ini adalah membangun NKRI di atasnya. Maka sebagaimana Presiden Jokowi katakan, momentum Indonesia saat ini adalah mempertahankan ke-Bhinekaan NKRI dan mempertahankan persatuan dan kesatuan NKRI.
Dari luar begitu banyak tantangan harus kita hadapi. Mimpi menjadi bangsa yang besar dan sejahtera kelihatannya akan berhadapan dengan dinamika internasional yang tidak mudah diatasi. Tetapi kalau dari dalam kita masih berdebat soal hal-hal yang tidak penting rasanya amat menyedihkan.
Ahok sebenarnya adalah sosok yang merepresentasikan kemampuan kita membangun dialog antar perbedaan sekaligus memandang hendak kemana bangsa ini diarahkan. Jika Ahok buruk di dalam melaksanakan tugasnya, maka pantaslah, meski pun itu berlaku bagi siapapun, untuk menolaknya. Tetapi tidak ada indikator yang membuatnya harus ditolak. Ia tetap bekerja, lebih keras dari gubernur manapun, demi kemajuan warga Jakarta. Ia juga tidak punya beban politik, dan jauh dari pencitraan. Jadi jika menolaknya, alangkah ruginya masyarakat.
Kini kita harus lebih memodernisasi alam pikir kita. Demokrasi memang memberikan ruang kebebasan. Tetapi tidak ada kebebasan di dalam apa yang sudah diputuskan oleh pendiri negara ini. Kita terima keberadaan demokrasi dengan mengakui bahwa seluruh warga masyarakat harus menghargai koridornya dengan baik. Penolakan diperbolehkan asalkan tidak kebablasan. Negara ini butuh membangun dirinya sendiri tanpa ada persoalan-persoalan yang bisa memecah-belah kita semua.
(***)