Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan
Senin, 14 Juli 2025
Tajuk Rencana

Rupiah Jatuh Bebas

- Selasa, 16 Desember 2014 10:03 WIB
341 view
Senin - kemarin, Rupiah anjlok dibandingkan dolar AS. Keterpurukan yang paling dalam sejak Agustus 1998. Rupiah sempat menyentuh posisi Rp. 12.700-an sebelum kemudian menguat kembali. Harga dollar di Bank Mandiri pada penutupan sore nyatanya masih nyaman bertengger di posisi Rp. 12.757.

Ada apa? Apa yang terjadi dengan nilai tukar Rupiah sehingga secara perlahan-lahan posisinya semakin lemah dan tidak sanggup menguat? Bukankah ada pendapat bahwa dengan menaikkan harga BBM akan menjadi stimulus kepada pasar dan akan menyebabkan ekonomi Indonesia lebih kuat?

Ada banyak argumentasi mengenai Rupiah ini. Salah satu alasannya adalah pertumbuhan ekonomi Tiongkok yang melemah. Berdasarkan data yang baru dikeluarkan, pertumbuhan ekonomi negara dengan PDB tertinggi di dunia itu hanya tinggal 7,1 persen dari yang sebelumnya diperkirakan 7,4 persen. Melambatnya pertumbuhan, menyebabkan transaksi menjadi berkurang.

Faktor lain juga patut diperhitungkan. Aksi borong dolar adalah karena utang. Utang-utang yang jatuh tempo di akhir tahun ini. Lebih dari Rp. 100 triliun utang jatuh tempo untuk tahun ini sudah digunakan untuk melunasinya, belum lagi tahun depan. Maka kemungkinan pelemahan Rupiah juga akan terus berlangsung.
Selain itu, patut diperhitungkan fundamental ekonomi kita yang masih mengandalkan dana-dana portofolio. Uang yang diperoleh dari uang di pasar saham seperti ini jelas mudah lari. Di bulan ini saja setiap harinya Rp. 1 triliun dana portofolio kabur dari pasar saham Indonesia. Akibatnya sudah bisa ditebak, akan terjadi keterpurukan harga saham plus pelemahan nilai tukar Rupiah tadi.

Apalagi, negara-negara tujuan investasi seperti ini, termasuk Indonesia sudah tidak lagi booming. Investor mulai melirik perkembangan pemulihan ekonomi Amerika yang tahun ini mulai mencatat perbaikan. Karena itu tidak heran jika Surat Utang Negara oleh asing menurun drastis. Posisinya hanya sekitar 38 persen, semakin menurun dari 39 persen di awal bulan ini. Inilah yang disebut sebagai risiko Capital Outflow, yaitu mengalirnya modal keluar karena ditarik oleh investor. Jika kondisi seperti ini terus berlangsung, bukan tidak mungkin ekonomi kita akan "berdarah-darah".

Tetapi pelemahan Rupiah terkadang alasan psikologis. Beberapa analis menyatakan bahwa ekonomi Indonesia miskin stimulus, miskin persepsi positif. Selama ini pemerintah tidak menyampaikan sesuatu yang menyebabkan investor percaya bahwa ekonomi Indonesia akan membaik di bawah pemerintahan baru. Maka wajar kemudian investor memilih jika perlu wait and see atas apa yang akan terjadi.

Memang tidak mudah menangani masalah ekonomi sekarang ini. Kebijakan moneter intervensi BI telah menggerus cadangan devisa kita sehingga tinggal menjadi US $ 111 miliar. Kebijakan ini tidak mungkin terus menerus dilakukan karena akan berisiko terhadap ekonomi Indonesia sendiri.

Memang salah satu kata kuncinya adalah mendorong ekspor. Semakin terus menerus bergantung pada bahan-bahan impor yang notabene harus dibayar dengan dolar, akan menyebabkan Rupiah tak perkasa. Tetapi itu perlu waktu. Sementara investasi pun harus menunggu setidaknya tahun depan untuk bisa dikatakan memberikan indikator positifnya.

Persoalan ini harus segera ditangani oleh pemerintah. Ada banyak kritik yang menyatakan bahwa pemerintah terlalu percaya diri.

Perlu mengundang para ahli ekonomi untuk segera mencegah kita jatuh ke dalam krisis moneter yang bisa berujung pada banyak hal. (***)

SHARE:
Tags
komentar
beritaTerbaru