Pelantikan- Sekretaris Daerah Provinsi Sumut (Sekdaprovsu) sudah berlalu tetapi dampaknya belum selesai. Berbagai kalangan menyampaikan penyesalan atas dilantiknya Hasban Ritonga sebagai Sekda definitif. Padahal saat itu Hasban sudah menyandang status terdakwa. Bahkan sidang pun sudah dimulai di pengadilan.
KPK turut memberikan perhatian terhadap hal itu. Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto menyampaikan keprihatinan atas hal itu. Bambang menyatakan semoga Gubernur Sumut tidak khilaf Kemudian KPK mengharapkan Menteri Dalam Negeri dapat mengklarifikasi masalah ini dan mengambil langkah penting untuk menjaga kepercayaan publik pada pemerintahan di Sumut.
Di saat pelantikan, Gubsu Gatot Pudjo Nugroho memang menyampaikan bahwa dia hanya mengamankan kebijakan presiden, dan aspek hukum sudah dibicarakan dengan pejabat kementerian terkait. Setahu kita dari media, Kementrian Dalam Negeri sudah mengirimkan tim untuk melakukan verifikasi. Tetapi hasilnya seperti sudah kita saksikan bersama. Pelantikan Hasban Ritonga sebagai Sekda Provsu berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) No 214/M/2014 per tanggal 29 Desember 2014.
Ini jelas-jelas merupakan preseden buruk. Sayangnya, pihak terkait tidak tegas. Bahkan mantan narapidana menjabat sebagai Kepala Dinas di Kepulauan Riau saja pernah dipaksa copot oleh Menteri Dalam Negeri. Sayangnya ini tidak terjadi pada Hasban. Ia dibiarkan tetap dilantik.
Lagi-lagi kita juga tahu betapa lemahnya sistem screening pejabat di pemerintah pusat. Seharusnya sebelum mengeluarkan SK, presiden menerima masukan dari seluruh pejabat secara berjenjang, dan diberikan up-date informasi mengenai status seseorang sebelum kemudian menandatangani SK-nya. Ada kesan bahwa status tersangka pada Hasban, disembunyikan sehingga presiden tanpa tahu menahu dan mempercaya Tim Penilai Akhir langsung membubuhkan tanda tangannya.
Diperlukan perubahan sebenarnya dengan cara melakukan pemeriksaan yang lebih detail dengan melibatkan masyarakat di daerah terkait. Melantik seorang tersangka, -apapun kasusnya,- menjadi pejabat negara, lebih melanggar aspek kepatutan daripada menjadikan mantan narapidana yang telah melewati masa hukumannya. Narapidana telah menerima hukuman fisik sehingga dengan demikian ia telah mempertanggung-jawabkan perbuatannya.
Tidak ada yang salah dengan Hasban. Ia bisa berdiplomasi bahwa ia dipilih dan bersedia menerima jabatan baru. Hanya saja seandainya gubernur mau memberikan informasi kepada Kementerian Dalam Negeri mengenai masalah ini, sebelum kemudian memutuskan untuk melantik Hasban, situasinya pasti akan berbeda. Etika penyelenggara negara, yaitu melaporkan hal-hal yang penting kepada pimpinan telah pula dilanggar gubernur sehingga hanya tahu melantik dan bukan menunjukkan keberpihakan pada aturan etis yang ada.
Apa jadinya seorang Sekda berstatus sebagai terdakwa. Pastilah Hasban sulit menyampaikan hal-hal berbau moral kepada sekitar 12 ribu PNS di jajaran Pemprovsu. Ia harus berhadapan dengan nuraninya sendiri. Ia juga tidak mungkin bisa mendorong supaya kinerja Pemprovsu lebih baik.
Ia harus mengurus dirinya yang kini berada di pengadilan.
Masih panjang jalan untuk mereformasi etika hukum dan etika pemerintahan di Pemprovsu. Pelantikan Hasban adalah tanda banyaknya masalah itu
(***)