Akhirnya sebagaimana bisa kita tebak, hak interpelasi anggota DPRD Sumut kepada Gubernur Sumut atas sejumlah kebijakannya, terancam kempes alias gembos. Penyebab lesu darah itu mudah ditebak, kepentingan politik.
Adalah Partai Gerindra yang awalnya begitu bersemangat untuk "menuntut" Gubsu memberikan penjelasan atas berbagai hal yang berkaitan dengan kebijakan keuangan Pemprov Sumut, penggunaan anggaran dan profesionalitas pengangkatan pejabat. Sayangnya, belum sampai ke paripurna penjadwalan, Partai Gerindra yang balik badan duluan.
Kita sebenarnya sudah bisa menebak bahwa politik gertak sambal ini hanya akan menjadi sebuah tontonan lucu. Soalnya, kita tahu bahwa ancaman model begini pernah juga dilakukan oleh anggota DPRD Sumut periode lalu, juga gembos. Deal-deal politik, termasuk politik balas budi, amat kental nuansanya.
Alasan Partai Gerindra adalah instruksi dari Ketua Umumnya Prabowo Subianto. Alasan yang sama juga kita lihat dari berbagai penarik diri dari ancaman-ancaman melakukan hak anggota DPRD di DKI Jakarta yang juga menarik diri dari usulannya, hak angket. Kaburnya masalah dan semacam gertak sambal juga, menyebabkan beberapa parpol kemudian diperintahkan oleh DPP partainya masing-masing untuk menarik diri atau terancam dipecat.
Dari sinilah kita tahu betapa tidak berkutiknya anggota DPRD dari ancaman pemecatan dari DPP Parpol. Ini sangat ironis. Sebab dalam Pemilu, kita sebenarnya telah menggunakan sistem proporsional daftar terbuka, dimana memilih wakil rakyat dan bukan parpolnya. Bahkan andaikan dalam Pemilu kita hanya mencoblos nama wakil rakyat, maka suara tersebut tetap dianggap sah.
Sistem Pemilu demikian sebenarnya memperlihatkan kepada kita betapa kuatnya posisi anggota parlemen. Mereka memiliki legalitas langsung dari kita untuk menjadi wakil rakyat yang akan menyampaikan kehendak kita. Lagi-lagi ironisnya mereka ketika sudah duduk di parlemen seperti tak lagi bergigi. Mereka bagaikan politis yang lehernya terikat pada peraturan parpolnya.
Amat disayangkan karena hal ini sering tidak disadari oleh para pemilih ketika memberikan suaranya di bilik suara. Pemilih tidak sadar bahwa di balik pilihannya ada ancaman kooptasi dari parpol yang mengusulkan nama yang akan kita pilih itu. Dan kenyataannya memang terjadi demikian.
Parpol di negeri kita ini memang sangat besar pengaruhnya. Mereka berhak memecat atau bahkan membungkam suara anggota DPRD, meski sebenarnya mereka tidak berhak melakukan hal itu. Kelembagaan sistem politik yang abu-abu ini menyebabkan parpol sangat berkuasa menentukan arah dan suara mereka yang telah menjadi wakil rakyat melalui pemilihan secara langsung.
Bisa dipastikan jika semua parpol mengarahkan wakilnya sesuai dengan kepentingan parpol itu sendiri, maka para wakil rakyat hanyalah seperti pem-beo.
Mereka sama sekali tidak memiliki kewenangan menggunakan haknya sendiri. Mereka tidak bisa bersuara, bahkan akan dibungkam jika mbalelo.
Sudah lama sebenarnya hal ini disadari. Demokratisasi yang melanda negeri ini hanya membuka celah bagi upaya perubahan dan perbaikan di institusi lain di luar parpol. Parpol, dengan segala kekakuan dan keengganannya berubah, telah menjadi institusi yang kelihatannya paling tidak demokratis. Hak interpelasi, mungkin hanya gertak sambal.
(***)