Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan
Senin, 14 Juli 2025

Buku Media Kekerasan

- Rabu, 25 Maret 2015 10:43 WIB
362 view
Buku Media Kekerasan
Hampir tidak terlalu menjadi perhatian media, jika sebuah buku menjadi kontroversi belakangan ini. Di buku pelajaran agama untuk kelas XI tersebut memuat anjuran untuk melakukan kekerasan kepada orang lain. Di dalamnya bahkan terang-terangan dianjurkan untuk membunuh.

Menteri Pendidikan memang telah meminta supaya buku tersebut segera ditarik dan mengusut tuntas buku tersebut. Saat ini buku tersebut memang hanya beredar di Jawa Timur. Tetapi potensi bahwa isinya juga bisa sama dengan buku berbentuk lembar kerja peserta didik amat besar. Mengingat bahwa menurut petinggi pendidikan di Jawa Timur buku tersebut berpedoman pada pedoman pekerti yang dikeluarkan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan.

Introduksi paham yang berbau radikalisme kepada anak didik memang amat disesali. Saat ini kita sedang berjuang melawan radikalisme yang masuk ke Indonesia salah satunya melalui media sosial. Itulah yang terjadi pada sekelompok orang yang mencoba menyusup ke Turki, masuk ke Suriah dan ingin bergabung dengan ISIS. Metode cuci otak ternyata efektif melalui metode tersebut.

Konon lagi jika metode tersebut malah diajarkan di lembaga pendidikan. Lembaga pendidikan seharusnya mengajarkan berbagai ajaran yang mendidik anak menjadi pribadi yang lebih baik dan sesuai dengan tujuan pendidikan nasional yaitu berakhlak mulia. Bukan sebaliknya.

Ajaran kekerasan tidak cocok dilakukan, bahkan di agama manapun. Kekerasan sebagaimana dilakukan oleh berbagai kelompok radikal di dunia ini hanya akan menjadikan dunia menjadi tempat pertumpahan darah. Pembunuhan demi pembunuhan yang dilakukan oleh kelompok yang melakukan kekerasan hanya akan menjadi kekerasan berikutnya. Tidak akan pernah tuntas.

Lagi pula di bumi Indonesia, konsep yang kita dukung dan pegang adalah pluralisme. Ini bukan pandangan sempit. Tetapi Indonesia memang bukan dibentuk oleh sebuah kelompok dominan entah itu berbau agama atau suku, tetapi dibangun sejak dari awal untuk membangun keberagaman. Jadi tidak mungkin sebuah klaim untuk mementingkan kelompok tertentu akan dapat dibenarkan oleh siapapun sepanjang masih berada di Indonesia.

Ada baiknya memang untuk tidak mengulangi lagi hal ini, pemerintah benar-benar melakukan pembenahan sistem pembuatan buku yang secara lokal bisa dibuat oleh para guru atau pengajar dalam bentuk lembar kerja tadi. Akan tetapi diperlukan panduan yang memang bisa dijadikan acuan dan diperiksa dengan baik oleh pakar pendidikan.

Amat disayangkan jika benar bahwa acuan penulisan buku yang menghebohkan itu adalah justru dari Kementerian Pendidikan Nasional sendiri. Seharusnya Kementerian Pendidikan menjadi otoritas tertinggi terhadap seluruh materi pembelajaran yang diberikan di seluruh sekolah di Indonesia.

Terhadap pencegahan isu radikalisme yang terus menerus mencoba mencuci otak anak-anak kita, mungkin cara-cara preventif bisa dilakukan di antaranya dengan meminta pemerintah memblokir konten kekerasan seperti dilakukan oleh berbagai pemerintah. Setidaknya akses terhadap hal itu ditutup. Tidak ada gunanya.

Selain itu, mungkin diperlukan juga semacam panduan pluralisme, entah itu dalam bentuk ekstrakurikuler, atau aktifitas anak didik sehingga meski ada ancaman radikalisme, mereka tetap bisa mengerti bahwa persaudaraan jauh lebih indah daripada melakukan atau menganjurkan kekerasan. Kita harus serius melakukan hal ini. (***)

SHARE:
Tags
komentar
beritaTerbaru