Akhirnya perseteruan antara Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama dengan DPRD DKI Jakarta menemui jalan buntu. Meski telah dimediasi oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla, kedua pihak tidak menemui kesepakatan. DPRD DKI Jakarta menolak membahas APBD DKI Jakarta 2015 dan Gubernur DKI Jakarta juga tidak keberatan dengan penggunaan APBD 2014.
Inilah akhir dari sebuah dinamika politik yang menjelaskan kepada publik bagaimana eksekutif dan legislatif berseteru atas nama rakyat. Di satu sisi gubernur menyatakan bahwa ia mengemban tanggung-jawab terhadap semua anggaran yang digunakan untuk kepentingan rakyat, sementara DPRD DKI tetap ngotot bahwa mereka menyerap aspirasi masyarakat melalui pokok pikiran.
Tetapi apa boleh buat, semuanya sudah terlanjur dan kini untuk pertama kalinya sebuah daerah tidak sepakat terhadap APBD-nya. Memang dimungkinkan bahwa APBD tahun sebelumnya dapat digunakan. Akan tetapi beberapa kegiatan mungkin tidak akan lagi sebagaimana yang direncanakan.
Tanpa mencari siapa yang salah, amat jelas terlihat kepada kita jika saat ini transparansi sudah menjadi hak masyarakat. Barulah mata kita terbuka ketika mencermati persoalan antara Gubernur DKI dengan DPRD-nya-padahal keduanya sama-sama disebut sebagai pemerintah daerah-yang berujung kepada keterbukaan penggunaan anggaran. Kita harus menghargai bahwa Gubernur DKI menginisiasi penggunaan e-budgeting yang seluruh kegiatannya berbasis pada perencanaan yang disusun oleh SKPD. Oleh karena perencanaan tersebut sesuai dengan kebutuhan, maka evaluasi terhadap pelaksanaan kegiatannya akan lebih mudah dilakukan oleh siapapun pimpinannya.
Selama ini kita tidak pernah tahu bagaimana penganggaran dilakukan dan disusun. Akibatnya uang pajak yang kita setor hanya tahunya habis setiap tahunnya dan untuk ditagih kembali di tahun berikutnya. Himbauan untuk membayar pajak dilakukan terus menerus oleh pemerintah namun kita tidak pernah merasakannya karena setiap tahunnya jalan rusak terus dan kondisi fasilitas umum awut-awutan.
Mata kita semakin terbuka bahwa ternyata selama ini ada permainan busuk antara eksekutif dan legislatif untuk memanfaatkan dana pembangunan sehingga tidak lagi sesuai dengan kemanfaatannya melainkan lebih kepada kepentingan pribadi, partai politik atau kelompok tertentu. Dan itulah yang semakin membuat kita prihatin karena kondisi tersebut sebenarnya terjadi pada hampir semua daerah, hanya tidak ada yang berani mengungkapkan masalah ini.
Ada apa? Mengapa daerah lain tidak berani bicara terbuka? Kelihatannya karena pejabatnya umumnya memang tidak berani bicara kemungkinan karena memang tidak bersih. Banyak pejabat yang tidak berani menyatakan bahwa kekayaannya berasal dari pendapatan yang bersih sehingga berani menantang orang untuk melakukan tindakan bersih.
Kita sebenarnya ingin masalah ini memicu semua daerah juga bicara. Kita tidak mau anggaran atas nama rakyat justru dijadikan permainan oleh pihak yang tidak bertanggung-jawab dan menjadi begal anggaran, apapun itu jabatannya. Jika itu dari eksekutif seharusnya mereka juga dikenakan hukuman apalagi jika itu dari legislatif karena tugas mereka adalah mengawal penggunaan anggaran tersebut.
Campur aduknya tugas dan kewenangan antar lembaga yang berbeda peran ini menjadikan masalah anggaran menjadi isu sensitif tetapi krusial. Masyarakat punya hak untuk tahu. Kita menantang Gubernur Sumut, seluruh Kepala Daerah di Sumut dan seluruh DPRD di Sumut juga mau bicara. Berani?
(***)