Peradilan kita semakin menunjukkan keanehan-keanehannya. Kali ini kita mendengar kasus pembunuhan yang terdakwanya divonis mati. Setelah ditelusuri oleh LSM, ternyata terdakwa yang kemudian menjadi terpidana mati tersebut berusia di bawah umur atau masih tergolong anak-anak pada saat vonis dijatuhkan. Maka vonis mati seharusnya tidak berlaku kepadanya.
Kasus itu memang unik. Bersama rekannya, Yusman Telaumbanua melakukan pembunuhan berencana. Di saat pemeriksaan dan di pengadilan ia bahkan tanpa didampingi pengacara. Meski belakangan didampingi, pengacaranya justru meminta supaya terdakwa divonis mati.
Bukti kelahiran Yusman juga hanya mengandalkan informasi dari keluarga dan rekan sekolah. Padahal Yusman memegang surat baptis yang menunjukkan ia masih di bawah umur ketika melakukan kejahatan tersebut. Sayangnya, dalam persidangan yang berlangsung di Pengadilan Negeri Gunungsitoli, Mei 2013, hakim mungkin tidak mempertimbangkan upaya klarifikasi awal terhadap usia terdakwa.
Terlepas dari kesalahan Yusman, ini merupakan sebuah produk hukum yang fatal. Mengingat bahwa hukuman mati memang mendatangkan konsekuensi yang akibatnya bisa tidak bisa dianulir sekali dilakukan, pengadilan kita memang harus benar-benar dievaluasi mekanisme kerjanya. Menurut Kontras, proses yang dijalani oleh Yusman dan kakak iparnya tersebut memiliki keanehan sejak dari tangan polisi.
Ambil contoh mengenai pendampingan oleh pengacara. Seharusnya jika memang diancam oleh hukuman di atas lima tahun, maka keduanya seharusnya didampingi atau setidaknya mendapatkan pengacara yang ditunjuk oleh negara untuk itu. Tetapi menurut Kontras, keduanya tidak didampingi pengacara. Tiadanya saksi yang menunjukkan peran serta mereka juga menjadi keanehan tersendiri. Sebab, pembunuhan yang disangkakan kepada mereka adalah pembunuhan yang melibatkan pelaku langsung, yang sampai sekarang belum juga ditemukan oleh polisi.
Lalu masih menurut Kontras, motif pembunuhan yang tadinya persoalan ingin mengambil harta korban, karena tiga orang korban ingin mengambil tokek dari Nias yang dimiliki oleh kedua terdakwa, sayangnya kemudian berubah. Perubahan ini barangkali untuk menyesuaikan dengan tiadanya saksi, sehingga menjadi motif mendapatkan kepala korban sebagai jimat.
Inilah kenyataan yang kini di depan mata kita menunjukkan betapa masih belum dijaminnya hak individu ketika berhadapan dengan sistem pengadilan. Apalagi kendala bahasa menyebabkan Yusman mungkin hanya bisa mengiyakan apapun yang ditanyakan oleh hakim.
Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly dan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Yembise telah memberikan perhatian terhadap masalah ini. Menteri Yohana berjanji untuk menyusun peninjauan kembali terhadap Yusman. Tetapi pertanyaannya, apakah hanya Yusman sendiri yang mengalami hal ini ?. Jangan-jangan masih ada "Yusman-Yusman" lain yang tidak punya kesempatan untuk membela diri karena terlanjur diberikan hukuman?
Perlu keseriusan seluruh pihak untuk mencegah kasus-kasus yang bisa fatal ini berulang di masa mendatang. Pengadilan harus sesuai dengan peruntukannya.
(***)