Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan
Selasa, 15 Juli 2025

Mitigasi Bencana

- Senin, 30 Maret 2015 09:59 WIB
1.451 view
 Mitigasi Bencana
Sepuluh tahun yang lalu, Maret 2005, Sumatera Utara terguncang. Di kawasan sebelah Utara Pulau Nias, gempa terjadi. Sebagai rangkaian ikutan dari gempa bawah laut yang terjadi di Aceh di akhir tahun 2014, lempengan tanah aktif kemudian turut bergerak dan membawa guncangan di wilayah Pulau Nias. Lebih dari 500 orang meninggal dunia, tidak termasuk kerugian akibat hancurnya fasilitas umum dan rumah warga.

Pemerintah kemudian menggabungkan upaya rehabilitasi dan rekonstruksi di Pulau Nias dengan membangun sebuah badan khusus bernama BRR Aceh-Nias. Kesigapan pemerintah menangani bencana yang secara total menewaskan sekitar 200 ribu orang di dua Provinsi di Pulau Sumatra ini kemudian menjadi kisah sukses pemerintah yang dijadikan rujukan oleh banyak negara.

Bandara Polonia waktu itu segera saja menjadi bandara tersibuk di dunia, karena seluruh bantuan diarahkan melalui bandara itu. Kota Medan menjadi salah satu pusat pengendali bencana terdekat yang akan menuju ke Aceh dan ke Nias. Sumut pun ikut sibuk menanggung bencana yang terjadi di dua wilayah yang secara geografis ini sulit dijangkau pada mulanya.

Namun persoalan berikutnya muncul. Saat ini di berbagai daerah yang terkena bencana, termasuk di Aceh dan Nias, masyarakat mulai abai terhadap ancaman bencana. Di awal-awal kejadian, memang upaya untuk memberikan edukasi kepada masyarakat untuk menghadapi bencana amat intens diberikan oleh berbagai elemen. Masyarakat diberikan mitigasi bencana supaya menumbuhkan kesadaran bahwa kita harus hidup berdampingan dengan bencana. Kala itu masyarakat merespon karena baru saja berhadapan dengan bencana tersebut.

Tetapi lama kelamaan terlihat bahwa model mitigasi bencana yang tertuang ke dalam berbagai konsep sudah mulai ditinggalkan. Ambil contoh mengenai syarat bangunan yang seharusnya dibangun dengan menggunakan model antisipasi bencana gempa, malah tidak dituruti oleh masyarakat. Ini erat kaitannya dengan sikap pemerintah daerah yang tidak mau perduli terhadap risiko bencana yang mengancam setiap saat. Rumah warga dibiarkan dibangun tinggi-tinggi, bahkan dekat dengan pinggir laut, tempat paling berisiko terhadap gelombang bencana.

Demikian juga dengan upaya mencegah jatuhnya korban jika ada bencana hampir semakin tidak ada. Latihan dalam menghadapi bencana malah sudah tidak pernah terdengar lagi. Malah alat peringatan dini tsunami yang banyak di pasang di laut sudah berhilangan oleh tangan-tangan yang tidak bertanggung-jawab. Papan-papan jalur evakuasi yang dulu dibangun dengan biaya yang tidak sedikit, kini semakin tidak kelihatan.

Jika dulu di sekolah-sekolah yang berdekatan dengan daerah bencana selalu diberikan latihan dan pendidikan kebencanaan sehingga sedari kecil anak-anak juga belajar bagaimana menghadapi bencana. Sayangnya semuanya sudah semakin longgar. Kenangan mengenai betapa hebatnya bencana sudah tinggal menjadi kenangan belaka. Masyarakat sepertinya mulai terbiasa bahwa hidup yang sekarang adalah hidup yang bebas dari bencana.

Inilah yang harus diperingatkan oleh pemerintah daerah dimanapun khusus di Sumatera Utara. Bencana gempa, longsor, banjir, letusan gunung, sudah pernah terjadi di daerah ini. Pendidikan bencana harus terus menerus diberikan supaya jangan sampai korban jatuh karena ketidaksiapan diri sendiri. Bencana bisa dihadapi, seperti masyarakat di Jepang, dengan belajar hidup menyesuaikan diri dengan bencana itu sendiri. Pemerintah harus benar-benar menjadikan ini persoalan serius. (***)

SHARE:
Tags
komentar
beritaTerbaru