Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan
Selasa, 15 Juli 2025

Parlemen Penuh Kontestasi

- Kamis, 02 April 2015 10:57 WIB
297 view
 Parlemen Penuh Kontestasi
Sudah sekitar setahun terakhir, politik Indonesia ini seperti selalu dipenuhi oleh kontestasi atau perebutan kekuasaan. Di masa Pilpres wajarlah kemudian persaingan seperti itu. Namanya juga mencari kekuasaan pastilah seluruh kekuatan dikeluarkan untuk mendapatkan kekuasaan tersebut.
Tetapi ketika kemudian parlemen terbentuk komposisinya setelah presiden dan wakil presiden terpilih dan kementrian juga sudah ditetapkan, mengapa suasana gaduh masih terus menerus terasa?

Kita ingin menyoroti drama penuh drama di parlemen. Ambil contoh, seolah tidak ingin berjalan mulus, seleksi terhadap usulan presiden mengenai penetapan Badrodin Haiti menjadi Kapolri saja malah seperti dilama-lamain. Apa parlemen tidak punya pekerjaan lain, semisal mulai menghasilkan produk UU sebagaimana ditargetkan dalam Prolegnas? Ataukah parlemen tidak ingin melakukan pengawasan terhadap pekerjaan pemerintah supaya pemerintah bisa benar-benar bekerja sesuai dengan targetnya? Kalau nantinya juga pasti akan disetujui, misalnya Badrodin Haiti sebagai Kapolri, mengapa mengambil jalan berlingkar-lingkar dan tidak segera saja menyelesaikan pekerjaan?

Terus, pertanyaan publik adalah apakah parlemen tidak ingin pemerintah sukses dalam bekerja? Sekarang ini parlemen sedang berupaya menyusun hak angket kepada Menteri Hukum dan HAM. Pertanyaan publik adalah jika kebijakan itu salah, apakah itu menyangkut kepentingan masyarakat luas? Siapakah yang sedang diwakili oleh parlemen sebenarnya?

Suasana penuh konstestasi itu terus menerus mengganggu kita dalam lima bulan terakhir sejak pemerintah terbentuk. Beberapa pengamat bahkan menyatakan bahwa rakyat sudah mulai muak dengan hal ini. Tidak ada manfaat dari semua yang dikerjakan oleh parlemen.

Yang kita sesalkan sebenarnya adalah bahwa Parpol kita yang fungsinya diwakili oleh fraksi di parlemenĀ  sama sekali tidak punya norma atau ideologi yang dipegang teguh. Ini semacam hanya bekerja berdasarkan like dan dislike saja. Jika suka maka dibiarkan. Seperti ketika pemerintah memutuskan menaikkan harga BBM lalu, parlemen diam saja. Biasanya dengan kontrol yang dilakukan oleh perannya sebagai oposisi, waktu itu PDI-P menggunakan rujukan dengan buku putihnya untuk menunjukkan masih ada opsi lain.

Demikian juga ketika pemerintah memutuskan untuk mengalokasikan pembangunan skala besar dengan rencana membangun berbagai infrastruktur modern berupa pelabuhan, bendungan dan jalan. Tidak ada gerakan di parlemen yang mencoba mengkritisi rencana tersebut seolah semuanya benar.

Ideologi mengenai apa yang harus dilakukan kelihatannya mengalami mati suri, meski oleh KMP sekali pun. Orientasi KMP saat ini lebih kepada urusan pertemananan politik yang dibawa-bawa ke dalam ranah politik di parlemen. Jika sebuah Parpol terganggu maka atas nama solidaritas, semua anggota KMP kemudian berontak dan melawan. Maka akibatnya, persoalan menjadi sangat personal dan menciderai makna kelembagaan bernama DPR.

Hampir tidak ada figur yang memang bisa menjadi panutan di parlemen. Bahkan PDI-P yang dulunya adalah oposan masih terus menerus terbiasa dengan sifat itu. Berkali-kali kadernya bahkan mengeluarkan ancaman untuk memakzulkan pemerintah. Logika yang sebenarnya sangat menyedihkan karena ketika Presiden Jokowi memenangkan perhitungan suara, justru Ketua Umumnya Megawati Soekarnoputri menyatakan bahwa partainya kini berkuasa setelah 10 tahun berpuasa.

Ada apa dengan elit politik kita? Lupakah mereka pada tugasnya? Kelucuan ini sebaiknya dihentikan supaya parlemen kita tidak terus menerus dihujat masyarakat. Bagaimanapun, pemerintah ini perlu dan wajib bekerja dengan kontrol dari parlemen yang berkualitas. Sekali lagi, parlemen harus memiliki kualitas sebagai lembaga negara yang mengawasi jalannya pemerintahan (***)

SHARE:
Tags
komentar
beritaTerbaru