Kompetisi sepakbola di Indonesia tak pernah lepas dari kisruh. Kali ini kick-off kompetisi Liga Super Indonesia yang dikendalikan oleh PSSI menuai masalah. Adalah dua klub sepakbola yaitu Perbaya dan Arema, yang tidak mendapatkan lampu merah dari BOPI (Badan Olahraga Profesional Indonesia) sehingga seharusnya tidak ikut bermain.
Tetapi PSSI bersikeras karena bermodalkan surat dari FIFA yang berisi permintaan supaya PSSI mengabaikan campur tangan pihak ketiga di dalam kompetisi lokal yang dimainkan oleh LSI yang kini bernama LSI QNB tersebut.
Mengapa pemerintah dalam hal ini yang diwakili oleh BOPI bersikeras dengan sikapnya? Selama ini memang pemerintah sedang meningkatkan kualitas persepakbolaan di tanah air dengan berbagai upaya yang lebih keras. Di antaranya pemerintah mensyaratkan supaya klub sepakbola bebas dari tunggakan. Pemerintah juga mendorong supaya klub meningkatkan tanggung-jawabnya terhadap para pemain sehingga tidak lagi menunggak gaji pemain, sehingga pemain terbengkalai kesehatannnya dan malah kemudian meninggal dunia. Pemerintah juga mendorong supaya klub benar-benar taat para peraturan perpajakan termasuk di dalam mengelola kesehatan keuangan klub.
Upaya pemerintah itu memang sangat baik. Pemerintah menginginkan supaya sepakbola kita harus bermain dengan pola. Salah satunya bukan hanya melakukan sepakbola asal-asalan demi keuntungan para pemilik klub. Masih ingat dengan istilah sepakbola gajah? Kemungkinan hanya di Indonesialah sebuah klub sepakbola justru menginginkan bola masuk ke dalam gawangnya sendiri demi menghindari pertemuan dengan klub yang lebih kuat.
Selama ini PSSI seperti tidak mau bertanggung-jawab terhadap masa depan sebuah klub sepakbola dan para pemainnya. Banyak pemain yang harus menuntut dengan cara keras supaya gajinya dibayar. Padahal mereka telah dikontrak dan bermain dengan profesional. Sementara para pemilik klub memperlakukan mereka dengan sangat buruk.
Sepakbola Indonesia memang kental dengan urusan politik. Di masa lalu bahkan sampai dengan sekarang, para pengurus utama di PSSI adalah elit partai politik. Mereka dimasukkan di sana karena berbagai program PSSI amat kental dengan upaya mendatangkan massa dan kita tahu bahwa penggalangan massa adalah salah satu bagian terpenting dari tetek bengek politik? Jika demikian adanya, bagaimana mereka bisa mengurus sepakbola Indonesia jika yang dimainkan termasuk di lapangan adalah jurus-jurus politik?
Kita terperangah ketika kemudian PSSI memaksa memulai liga tanpa adanya ijin keramaian untuk pertandingan dari dua klub yang dicoret namanya oleh BOPI. Ini jelas menunjukkan kesewenangan atas teritori yang dibangun di atas kewenangan pemerintah dalam hal ini Kementerian Pemuda dan Olahraga yang ingin meningkatkan kualitas olahraga profesional Indonesia.
Pernah ada anekdot yang meminta PSSI berafilisasi kepada FIFA saja dan bernegara di sana. Kebijakan FIFA yang mengabaikan pihak ketiga, bahkan pemerintah di dalam meningkatkan kualitas olahraga, telah membawa sepakbola Indonesia semakin terancam tidak berkualitas.
Keadaan yang penuh dengan sengkarut ini juga berkaitan dengan nama liga yang kini beralih menjadi nama yang identik dengan nama sponsor. Kementerian Pemuda dan Olahraga menengarai bahwa penggantian nama itu sendiri justru melanggar statuta PSSI yang selama ini sangat di-dewa-dewa-kan oleh para pengurus PSSI setiap kali ada upaya membenahi PSSI. Kepentingan sponsor, ternyata telah memasuki PSSI dengan caranya sendiri.
Sepakbola Indonesia, jika sudah begini, jangan harap bisa bermartabat. Penonton hanya digunakan sebagai suporter bagi keuntungan PSSI
(***)