Sengketa lahan Jalan Jawa yang diklaim PT Kereta Api Indonesia (KAI) sebagai miliknya, dan kini berdiri sejumlah bangunan Centre Point, memasuki babak baru. Kejaksaan Agung telah melakukan penahanan terhadap Handoko Lie yang menjabat sebagai Direktur PT Arga Citra Kharisma, developer Centre Point. Bahkan dalam waktu dekat kasus ini akan dilimpahkan ke pengadilan karena berkasnya sudah lengkap.
Bersama Handoko Lie, ada dua mantan wali kota Medan yang ditetapkan Kejaksaan Agung sebagai tersangka. Mereka dijerat dalam kasus dugaan korupsi pengalihan lahan PT KAI menjadi Hak Pengelolaan Tanah oleh Pemda Tingkat II Medan Tahun 1982, Penerbitan Hak Guna Bangunan Tahun 1994, Pengalihan Hak Guna Bangunan Tahun 2004, serta perpanjangan Hak Guna Bangunan Tahun 2011. Polisi juga mengusut kasus ini dalam perspektif yang berbeda, dan telah menetapkan Kepala BPN Kota Medan, Dwi Purnama dan Kepala Seksi Pemberian Hak pada Kantor Pertanahan Kota Medan, Hafizunsyah, sebagai tersangka.
Kendati sedang dalam penanganan aparat hukum, ternyata tidak menghambat DPRD Medan memroses perubahan peruntukan atas tanah Centre Point di Jalan Jawa/Jalan Timor, Kelurahan Gang Buntu, Kecamatan Medan Timur, pada paripurna yang digelar Senin 16 Maret 2015. Tujuh fraksi masing-masing Fraksi PDI Perjuangan, Golkar, Gerindra, PAN, Hanura, PPP dan Fraksi Persatuan Nasional menyetujuinya. Sedangkan Fraksi Demokrat minta ditunda menunggu adanya kepastian hukum dan F-PKS dengan tegas menolak.
Harusnya DPRD Medan tidak terburu-buru menyetujui perubahan peruntukan tersebut. Mereka sebaiknya menunggu adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. DPRD Medan tidak perlu malu membatalkan persetujuannya. Langkah penahanan yang dilakukan Kejaksaan Agung menjadi sinyal bahwa masalah hukum lahan tersebut ternyata sangat serius, walau sangkaannya masih harus dibuktikan di pengadilan.
Presiden Jokowi saja dengan jiwa besar mencabut Peraturan Presiden Nomor 39 tahun 2015 tentang Pemberian Fasilitas Uang Muka bagi Pejabat Negara untuk Pembelian Kendaraan Perorangan. Padahal Perpres tersebut baru saja ditandatanganinya, namun karena reaksi penolakan publik sangat besar, Jokowi memutuskan untuk membatalkannya. Nah, DPRD Medan bisa belajar dari Jokowi tentang revisi atau pembatalan putusannya.
DPRD Medan dalam masalah perubahan peruntukan lahan Centre Point tidak harus mencabutnya secara permanen. Mereka bisa mengambil jalan tengah dengan menunda pelaksanaan putusan DPRD tersebut hingga ada keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Ini demi keamanan pimpinan dan anggota DPRD Medan sendiri, agar jangan kena imbas dan bisa terjerat masalah hukum.
Kasus Centre Point ini harus menjadi pelajaran berharga bagi Pemko dan DPRD Medan ke depan. Jangan mengambil keputusan strategis untuk sesuatu yang masih memiliki masalah hukum! Lebih baik dinilai orang agak lambat, tetapi berjalan di koridor yang seharusnya. Dari pada buru-buru tapi saalah.
Bagaimana pun masa depan Centre Point harus menjadi ‘pekerjaan rumah’ Pemko Medan. Apapun nantinya putusan hukum, Pemko Medan tak bisa buang badan begitu saja. Sebab ratusan miliar dana telah dikucurkan di atas lahan tersebut, tak terlepas dari kekurang-tegasan Pemko Medan dalam menegakkan aturan tentang bangun membangun. Bangunan megah sudah telanjur berdiri dan ada aktivitas ekonomi di sana. Harus ada konsep ‘win-win solution’ untuk masa depan kawasan yang strategis tersebut.
(**)