Sudah sejak lama penyelenggaraaan ujian nasional selalu diwarnai kecurangan. Pada tahun-tahun lalu posisinya yang menentukan kelulusan membuat banyak pihak berkepentingan. Bukan hanya siswa yang ingin dirinya lulus, pihak sekolah dan Dinas Pendidikan setempat pun tak ingin prestasinya anjlok gara-gara siswa-siswinya banyak yang gagal.
Tak heran di setiap ujian nasional, media massa selalu ramai dengan berita kecurangan. Semakin ditutup upaya kebocoran, semakin keras pula upaya orang tertentu untuk berbuat curang. Tetap saja setiap tahun ada penjualan soal dan kunci jawabannya ke siswa atau orangtua.
Harapan baru kembali muncul saat Anies Baswedan yang dikenal bersih menjabat sebagai Menteri Pendidikan. Penggagas Indonesia Mengajar ini mengampanyekan Ujian Nasional (UN) bukan lagi sebagai penentu kelulusan. Dia lebih menekankan pentingnya kejujuran dalam pelaksanaan UN.
Itu sebabnya, tekanan terhadap siswa, orangtua, sekolah dan dinas pendidikan dirasakan sangat berkurang. Tidak ada lagi tim sukses UN seperti yang dibentuk sekolah seperti tahun lalu. Walau tetap ada persiapan, pelaksanaannya sudah lebih rileks dan relatif tidak ada masalah pencetakan serta distribusi soal.
Sayangnya, upaya luhur Anies Baswedan untuk menyelenggarakan UN yang jujur kembali tercoreng. Oknum percetakan negara yang ditugasi memperbanyak naskah ujian nasional mencurinya dan menggunggah di google. Sebanyak 30 paket dari 11.730 paket soal UN tingkat SMA bocor ke publik. Menteri sendiri geram, begitu mendapat kabar bocornya soal itu, dia langsung menghubungi Bareskrim Polri, Menkominfo dan google.
Polisi bergerak cepat dan menetapkan tersangka pembocoran soal UN tersebut. Kita juga mengapresiasi kesigapan google yang memblokir akun yang digunakan tersangka untuk mengunggah ke internet. Ini menunjukkan adanya komitmen dari semua pihak untuk penyelenggaraan ujian nasional yang bersih dan jujur.
Untuk memberi efek jera bagi pelaku dan bagi siapa yang ingin curang di masa depan, diharapkan hukuman pembocor ujian nasional seberat-beratnya. Selain itu, Anies Baswedan harus membenahi sistem penggandaan naskah UN. Penerapan sistem online yang telah dimulai tahun ini harus didukung dan diperluas. Semua sekolah harus dilengkapi komputer dan jaringan internet yang memadai.
Walau ada jalan terjal mewujudkan penyelenggaraan UN yang bersih jujur ini, kita tak boleh berhenti berikhtiar. Masalah ini harus menjadi momentum mengevaluasi UN, mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan pengawasannya. Membenahi pendidikan Indonesia yang sempat carut marut bukanlah pekerjaan mudah. Kita perlu orang seperti Anies Baswedan untuk memperbaikinya!
(**)