KITA tidak mengerti alur berpikir para politikus dan pemilik kekuasaan di negara ini mengenai tekanan politik yang diberikan kepada Tri Rismaharini (Risma) Walikota Surabaya yang punya segudang prestasi ini. Di tangan wali kota perempuan inilah Kota Surabaya meraih berbagai kemajuan yang sangat signifikan sehingga menjadi kota yang benar-benar memenuhi ekspektasi publik karena layanan publik yang prima, pembangunan jalan, sampai pada penerapan Kota Hijau Surabaya. Mengapa tekanan politik muncul pada Walikota Risma di tengah berbagai prestasi yang dia raih?
Tri Rismaharini, Wali kota Terbaik Dunia 2014 versi The City Mayor Foundation dalam lamannya www.citymayors.com mendapat berbagai tekanan politik supaya mundur karena tidak sesuai dengan pengangkatan wakilnya yang cacat prosedural, yaitu Wisnu Sakti Buana. Bahkan sewaktu masih Wakil Ketua DPRD Wisnu juga pernah mengusulkan supaya Tri Rismaharnini segera dimakzulkan. Secara etika politik ini tentu sangat sulit. Bahkan secara psikologis antara wali kota dan wakilnya akan sangat sulit berkomunikasi.
Dukungan supaya Risma terus maju datang dari semua lapisan masyarakat Surabaya. Rektor ITS dan Unair sendiri pun terus mendukung langsung dengan mendatangi Risma di kantornya. Bahkan dukungan lintas agama, lintas etnis dan berbagai kalangan masyarakat perantau datang mendukung Risma supaya tetap bertahan sebagai Wali kota Surabaya. Segudang prestasi yang diraih bersama Kota Surabaya telah menjadikan Risma sebagai wali kota yang sangat dicintai oleh rakyatnya.
Dukungan dalam bentuk “Save Risma†ibarat air mengalir yang tidak terbendung. Ini tentu bukan rekayasa sosial canggih,tetapi terjadi dengan alami dan natural. Jarang sekali dukungan kepada wali kota terjadi seperti ini. Yang perlu kita lihat adalah mengapa Risma begitu didukung oleh masyarakatnya sebagai wali kota Surabaya? Tentu pertanyaan ini tidak sulit menjawab. Karena mau melayani masyarakat dengan baik.
Mencari pemimpin yang mau melayani masyarakat saat ini tentu sangat sulit. Pemimpin kita saat ini terjebak pada pragmatisme kepentingan sesaat. Menjalankan kepemimpinan hanya sebagai rutinitas semata tanpa punya visi ke depan dalam membangun. Bahkan pemimpin kita saat ini banyak terjebak masalah korupsi.
Indikator kepemimpinan dalam bentuk peningkatan fasilitas pembangunan, peningkatan indeks pembangunan, dan kesejahteraan rakyat yang makin menguat tidak nampak dalam kepemimpinan lokal. Akibatnya masyarakat saat ini apatis terhadap setiap Pemilukada. Di setiap Pemilukada, Golput selalu jadi pemenang. Hal ini dikarenakan masyarakat sudah mulai apatis karena gaya kepemimpinan yang dibawakan oleh pemenang Pilkada masih bersifat feodal.
Saat Tri Rismaharini mulai mendongkrak kepercayaan masyarakat kepada kepemimpinan lokal dengan menjadi pelayan yang baik, meningkatkan kualitas pembangunan Kota Surabaya, dan mampu melakukan perubahan secara signifikan, ternyata ancaman dan tekanan politik muncul pada Risma dan menjadi keprihatinan kita bersama.
Apa latar belakang atau motif tekanan politik pada Risma masih jadi pertanyaan bagi kita semua. Tetapi kita bisa melihat secara kasat mata betapa memperjuangkan kebenaran pun punya cost yang sangat tinggi. Tetapi syukur dukungan dalam bentuk Save Risma berkumandang di Surabaya sebagai perlawanan rakyat yang tulus kepada para elit politik yang haus kekuasaan. Save Risma merupakan bukti betapa rakyat menginginkan kepemimpinan yang tulus, melayani, dan penuh dengan amanah. Risma membuktikannya dengan mendapat dukungan dari rakyat saat tekanan politik datang kepada dia.
(#)