Minggu ini ada tiga agenda yang menjadi pusat perhatian publik Indonesia di media massa. Orang yang terlibat dalam kegiatannya tersebut berbeda satu sama lain, bahkan temanya pun berbeda. Entah kebetulan atau tidak, tujuannya ternyata sama dan merupakan langkah besar untuk memperjuangkan Batak dan Danau Toba.
Pertama, pertemuan kepala-kepala daerah sekawasan Danau Toba yang digagas Kepala Staf Kepresidenan Jenderal (Purn) Luhut Panjaitan. Mereka bertemu untuk menyatukan langkah memperjuangkan Danau Toba menjadi Geopark Global Network (GGN) Unesco. Tujuan utamanya adalah melindungi lingkungan sekaligus mengembangkan ekonomi, pendidikan dan riset bidang geologi serta budaya yang pada gilirannya akan menyejahterakan rakyat sekitar Danau Toba.
Agenda kedua, gala premier film Toba Dreams karya Letjen (Purn) Dr TB Silalahi yang disutradarai Benny Setiawan. Film ini berkisah tentang tokoh Tebe, dengan gaya khas bicara dan kehidupan Batak yang keras dan terus terang dengan latarbelakang keindahan panorama Danau Toba. Lewat adegan yang apik, penonton bisa menikmati kehidupan khas Batak dan Danau Toba selama dua setengah jam.
Kegiatan ketiga adalah rilis film Bulan di Atas Kuburan, karya Edo Sitanggang. Inspirasinya adalah sajak Almarhum Sitor Situmorang. Meski merupakan remake film dari tahun 1972, banyak aktor papan atas terlibat dan temanya adalah tentang Batak. Bercerita tentang Sahat, dari Pulau Samosir yang merantau ke Jakarta untuk mewujudkan mimpinya menjadi penulis.
Ketiga kegiatan ini menunjukkan besarnya potensi yang dimiliki Batak dan Danau Toba. Banyak orang kreatif dan peduli dengan kemajuan Bona Pasogit. Tidak benar tak ada lagi yang mau membangun Tapanuli. Walau seolah berbeda dan terpisah, namun semangat mereka sama untuk memperjuangkan Batak dan Tapanuli.
Orang-orang seperti Luhut Panjaitan, TB Silalahi dan tokoh Batak lainnya harus diapresiasi atas semangat dan perjuangan mereka yang tak pernah surut untuk membangun Bona Pasogit. Di tengah kesibukan, mereka masih menyediakan waktu, memberi perhatian, bahkan rela berkorban materi demi Tapanuli. Langkah itu diharapkan bisa diikuti tokoh Batak lainnya yang jumlah cukup banyak di Indonesia maupun di luar negeri.
Masih sulit menghapus cap peta kemiskinan yang melekat beberapa dekade lalu untuk Tapanuli. Faktanya memang, pariwisata Danau Toba masih terpuruk dan belum pulih seperti Bali yang sudah berkembang pesat. Ekonomi masyarakat juga masih sulit sehingga memerlukan dukungan dan bantuan perantau dan orang-orang yang peduli Tapanuli.
Padahal, kurang apa potensi yang dimiliki Tapanuli dan Danau Toba. Hanya pembangunan masih sangat minim. Buktinya infrastruktur jalan masih bermasalah. Bagaimana roda ekonomi berjalan dan pariwisata tumbuh jika jalan rusak parah? Perlu kontribusi lebih besar dari pemerintah dan perantau untuk memperjuangkan pembangunan di Bona Pasogit.
Tak peduli apa posisi kita saat ini, semua bisa berkontribusi bagi kemajuan Tapanuli dan Danau Toba. Tidak harus menunggu sukses dan kaya raya, warga sekitar Danau Toba bisa berperan hanya dengan menjaga kebersihan lingkungannya. Perantau mempromosikan dan mengajak orang berkunjung ke Danau Toba, apakah lewat media sosial atau percakapan pribadi. Mari sama-sama membangun Batak dan Danau Toba! (**)