Presiden Jokowi memanfaatkan forum Konferensi Asia Afrika (KAA) dengan sangat baik. Mengikuti jejak pendahulunya, presiden pertama Indonesia, Ir Soekarno, dia menyerukan perlunya reformasi Perserikatan Badan Bangsa-Bangsa (PBB). Menurutnya, badan dunia tersebut belum berhasil memberi rasa keadilan bagi seluruh bangsa yang ada di muka bumi.
Harus diakui banyak keputusan PBB tidak memuaskan negara-negara berkembang. PBB dianggap lebih banyak memihak kepentingan negara-negara besar. Walau tidak bisa digeneralisir, ada juga putusan badan dunia tersebut yang layak diacungi jempol, antara lain dalam penanganan pengungsi dan bantuan bagi negara-negara miskin.
PBB sebagai wadah berhimpunnya negara-negara lahir tahun 1945 sebagai respons kegagalan Liga Bangsa-Bangsa (LBB) mencegah perang dunia kedua. Sejarah mencatat penggagasnya adalah negara-negara pemenang pada perang dunia kedua. Awalnya hanya puluhan negara yang bergabung, kini sudah ratusan yang menjadi anggota PBB.
Gagasan awal PBB adalah Atlantic Charter yang dilanjutkan dengan Charter For Peace. Isinya antara lain jaminan bagi setiap bangsa mempunyai hak untuk menentukan nasib sendiri (Right of self determination). Dalam perjalanan waktu, usia PBB sudah 70 tahun, aroma ketidakadilan masih menyengat di forum badan dunia tersebut. Ada sekelompok negara kaya dan merasa superior dari negara lain, mencoba mengendalikan dan menyetir kebijakan dan keputusan badan dunia tersebut.
Sejak awal memang sudah ada bibit ketidakadilan. Bisa dilihat dalam pembentukan Dewan Keamanan, yang terdiri dari anggota tetap dan tidak tetap. Ada negara yang diberi keistimewaan dengan hak veto. Segelintir negara bisa menggagalkan putusan Dewan Keamanan, walau apa yang disepakati menyangkut kepentingan seluruh dunia. Seringkali PBB tak berdaya atas persoalan internasional karena ada negara yang menggunakan hak veto.
Padahal sejarah dunia sudah banyak berubah! Uni Sovyet misalnya yang menjadi salah satu pendiri PBB telah bubar menjadi beberapa negara. Kenggotaan telah berkembang pesat, dan tinggal beberapa negara yang belum mau bergabung. Ada paradoks dalam menjalankan organisasi PBB, satu sisi menyerukan demokratisasi di negara-negara anggotanya, sementara di salah satu organnya, ada yang tidak demokratis dan tidak adil dengan adanya hak veto.
Negara-negara Asia dan Afrika tak bisa lagi diremehkan perannya di panggung dunia. PBB harus berubah dan memberi kesempatan yang sama bagi seluruh anggotanya. Untuk itu KAA yang menjadi forum negara Asia Afrika harus mengeluarkan rekomendasi bersama untuk reformasi PBB. Jadi harus jelas bahwa reformasi PBB bukan hanya keinginan Indonesia, tapi seluruh negara Asia Afrika.
Perjuangan mereformasi PBB memang masih panjang. Presiden Jokowi bersama pemimpin negara Asia Afrika lainnya harus bekerja keras meyakinkan Amerika Serikat, Inggris, Rusia. Tiongkok dan sekutunya bahwa reformasi PBB bukan ancaman bagi mereka. Bahkan ini merupakan kesempatan untuk menciptakan tatanan dunia yang lebih adil demi perdamaian dunia. Dengan terlibatnya semua negara secara proporsional dan berkeadilan, PBB akan lebih demokratis dan penyelesaian masalah-masalah internasional lebih bisa diterima semua pihak.
(**)