Berdalih agar lebih banyak memperhatikan konstituennya, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) menambah masa resesnya. Jika pada periode 2009-2014 hanya empat kali setahun, masa sekarang menjadi lima kali. Hal ini berakibat waktu pembahasan Rancangan/Revisi Undang-undang (RUU) lebih sedikit dan terancam molor.
Padahal, UUD 1945 pasal 20A ayat 1 ada 3 telah mengatur ada tiga tugas utama DPR RI, yakni fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan. Legislasi berkaitan dengan pembuatan UU dan fungsi anggaran untuk menyusun APBN. Sedangkan pengawasan untuk mengontrol pelaksanaan UU, APBN dan kebijakan pemerintah.
Jadi, DPR RI tak boleh lalai mengerjakan tugas utamanya dengan alasan apapun. Menyusun UU merupakan kewajiban yang tidak boleh tidak harus ditunaikan. Lebih memperhatikan konstituen sah-sah saja bagi DPR RI, yang tujuannya untuk menyerap sebanyak mungkin aspirasi mereka. Tetapi, fungsi legislasi harus tetap menjadi prioritas, selain anggaran dan pengawasan.
Mari lihat kinerja DPR RI periode 2009-2014 berdasarkan catatan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia. Dari 247 RUU (Rancangan Undang Undang) yang masuk program legislasi nasional (Prolegnas), dewan ternyata hanya mampu menyelesaikan 92 RUU yang disahkan menjadi UU (Undang Undang) atau sekitar 37,25 persen. Artinya DPR RI menghasilkan sekitar 20 UU per tahunnya. Kecenderungan pengesahan justru meningkat saat masa jabatan dewan akan berakhir.
Dari sisi inisiatif, kontribusi DPR RI juga sangat rendah. Dari 92 UU yang dihasilkan hanya 40 saja yang datang dari inisiatif DPR, sisanya usulan dari pemerintah. Dibandingkan dengan DPR RI periode sebelumnya, kinerja legislasi tersebut juga kalah. DPR RI masa kerja 2004-2009 bisa menyelesaikan 193 RUU menjadi UU dari 284 RUU yang masuk Prolegnas.
Kita berharap kinerja legislasi DPR RI periode 2014-2019 meningkat dari sebelumnya. Banyak RUU yang terbenam di dewan, padahal layak untuk segera disahkan menjadi UU. Pembentukan Provinsi Tapanuli dan Provinsi Nias misalnya masih terus ditunda, padahal usulannya sudah lama masuk ke DPR RI. Harusnya dewan harus memahami bahwa tugas membuat UU bukan perintah UUD 1945, tetapi juga merupakan aspirasi konstituennya.
Bukan berarti semua waktu DPR RI untuk membahas RUU. Ini hanya soal pengaturan supaya waktu yang ada efektif. Perlu diciptakan mekanisme pembahasan RUU yang tak terlalu lama, namun hasilnya memuaskan. Sebenarnya tak sulit, sebab banyak staf ahli dan pakar yang bekerja di kantor dewan tersebut. Mereka tinggal diberdayakan agar DPR RI tidak lagi membahas soal-soal teknis, walau tetap harus dikawal.
Persoalannya, sering pembahasan RUU ditunda-tunda bukan karena tak ada waktu. Kalau mayoritas DPR RI berkepentingan, dalam hitungan hari, bisa kok satu RUU disahkan dalam hitungan hari. Jadi tergantung kemauan politik DPR RI, tak ada yang sulit, jika semua peduli dan memberi hati.
(**)