Hari-hari ini kita disuguhi pemandangan anak-anak yang berangkat ke sekolah dengan membawa tas yang sarat buku. Mereka dibebani beragam mata pelajaran dan jam belajar yang makin panjang. Belum lagi tambahan les, baik karena program sekolah, maupun inisiatif orangtua.
Berangkat pagi hari dan tak sedikit anak baru malam hari sampai di rumah. Walau lelah tak bisa langsung istirahat sebab pekerjaan rumah menumpuk. Seolah kualitas sekolah ditentukan banyak tidaknya tugas yang dikerjakan siswa di rumah. Kadang yang mengerjakan tugas tersebut justru orangtua.
Bapak Pendidikan Indonesia Ki Hadjar Dewantara menamai sekolah yang didirikannya ‘Taman Siswa’. Taman berarti tempat yang nyaman, indah dan menyenangkan. Sesuatu yang dirindukan untuk didatangi dan berat rasanya meninggalkan.
Sekolah tidak menjadi beban bagi siswa. Jadi sekolah harus dijadikan layaknya taman, ditata sedemikian rupa agar menyenangkan. Bukan karena keterpaksaan anak-anak belajar dan beraktivitas di sana. Menjadikan sekolah menyenangkan bukan hanya tugas guru dan kepala sekolah, tidak pula hanya tanggung jawab pemerintah. Semua pihak termasuk orangtua harus terlibat untuk menciptakan sekolah layaknya taman.
Memang guru yang berada di garis terdepan berhadapan langsung dengan siswa. Untuk itu, pemerintah harus mempersiapkan secara serius tenaga guru. Pendidikan guru tak boleh dianggap lebih rendah dari jurusan lain di perguruan tinggi. Guru bukan sekadar pekerjaan, tapi harus memiliki jiwa pengabdian untuk mendidik calon pemimpin bangsa ini.
Perekrutan guru tak boleh disamakan dengan profesi lainnya, sebab tugasnya menyangkut masa depan bangsa. Ada ungkapan bahwa kalau mau kaya, jangan jadi guru. Memang sudah demikian kodratnya seorang pengabdi tulen yang selalu mengedepankan kekayaan budi luhur ketimbang kekayaan materi. Namun kesejahteraan guru pasti mempengaruhi kinerja mereka di depan siswa. Bagaimana bisa bekerja dengan baik, jika ekonomi rumah tangga terancam akibat mahalnya harga-harga yang masih tak terelakkan.
Kita mengapresiasi adanya tunjangan sertifikasi buat guru, di luar gaji yang diterima setiap bulan, baik untuk yang bekerja di sekolah negeri dan swasta. Namun alangkah lebih baiknya lagi apabila pemerintah (pusat, kota, kabupaten) memberi kemudahan dalam pelayanan birokrasi dan lainnya kepada guru.
Bahkan pihak swasta juga harusnya terpanggil mengakomodasi keistimewaan kepada kaum guru. Misalnya seperti bunga kredit yang lebih rendah (untuk cicilan kenderaan, rumah dan diskonto-diskonto bagi produk-produk kebutuhan rumahtangga lainnya). Karena bukankah anak-anak mereka, bisa membaca dan menulis - sampai mewarisi usaha orangtuanya - tak terlepas dari jasa guru.
Demikian juga halnya dengan program pemerintahan dan dana Corporate Social Responsibility (CSR) perusahaan swasta yang bisa didesain khusus untuk memotivasi para guru dan membuat anak-anak guru turut bangga menjadi anak seorang tenaga pendidik. Hal ini kelak diharapkan menumbuhkan jiwa pengabdian bagi keluarga guru sehingga lahir guru-guru masa depan yang berkualitas.
Sekolah juga tak boleh lagi sekadarnya saja dan asal ada. Pemerintah harus dibantu melengkapi sarana dan prasarana yang memadai sebagai wahana belajar. Gedung dan peralatan sekolah tidak harus mewah, tetapi memang benar-benar layak dan memenuhi syarat sesuai standar pendidikan.
Kurikulum perlu direvisi dan jangan lagi menjadi beban bagi siswa. Bukan karena banyaknya mata pelajaran dan lamanya jam belajar di sekolah maka lahir kualitas unggul. Sekolah wajib menyediakan ruang bagi pelajarnya untuk melakukan hal menyenangkan. Belajar harus menjadi kegembiraan, sesuatu yang ditunggu-tunggu siswa. Selamat Hari Pendidikan!(**)