Pers Indonesia meraih kembali kebebasannya pada awal era reformasi setelah puluhan tahun terkungkung. Adalah Presiden Habibie yang membuka kerannya dengan terbitnya UU No 40 Tahun 1999. Dulu yang serba diatur, kini serba bebas, walau tidak dalam arti sebebas-bebasnya.
Tetap ada aturan main yang harus dipatuhi orang-orang yang bergelut di bidang media. Misal, meski surat izin usaha penerbitan pers (SIUPP) dari pemerintah dihapus, mendirikan media massa tak boleh sembarangan, wajib memiliki badan hukum Indonesia. Tak ada lagi sensor, breidel dan budaya telepon dari pejabat, namun ada kode etik penulisan berita.
Publik memiliki hak mengontrol media massa melalui penggunaan hak jawab dan hak koreksi. Pers wajib melayani kedua hak ini, dan jika tak diindahkan, warga bisa melapor ke Dewan Pers. Lembaga ini yang kemudian berperan memediasi dan menegur media yang bermasalah.
UU 40 Tahun 1999 belum bersifat lex specialis, yang bisa mengesampingkan aturan lainnya termasuk KUHP yang berkaitan dengan kasus pers. Tetapi telah ada komitmen dan nota kesepahaman Dewan Pers dengan penegak hukum. Polisi, jaksa dan hakim sudah sepakat menghormati dan mengedepankan penggunaan UU Pers. Ini kemajuan besar sebagai bentuk penghormatan terhadap kebebasan pers.
Pada peringatan Hari Kebebasan Pers Internasional yang jatuh pada 3 Mei kemarin, insan pers Indonesia sudah seharusnya bersyukur. Sebab saat ini sudah dinikmati, walau masih ada pelanggaran di sana sini. Masih banyak negara di dunia, persnya dikekang. Tinggal bagaimana Indonesia merawat kebebasan pers yang telah ada. Jangan justru yang merusaknya adalah orang media sendiri.
Insan pers merawat kebebasannya dengan menghargai dan menaati kode etik yang telah disepakati secara nasional. Tunjukkan keprofesionalan dalam mencari, melaporkan dan menyebarluaskan informasi. Mengkritik adalah hak, namun tetap santun dalam penyampaian juga kewajiban.
Semua pihak, apakah pemerintah, aparatĀ pengusaha dan masyarakat diminta menghargai kebebasan pers. Kalau pers kembali dikekang, dan ditindas, yang rugi bukan hanya orang yang berkecimpung di media, tapi nasib satu bangsa yang terancam. Coba bayangkan jika di negeri ini tak ada lagi kritik dan koreksi, maka kesewenang-wenangan akan merajalela.
Memang kualitas media di Indonesia belum merata, terutama yang ada di daerah. Masih banyak yang kembang kempis bagai kerakap yang tumbuh di atas batu. Ini tugas bersama membenahinya. Pemerintah tak boleh lepas tangan, industri pers perlu stimulus seperti pembebasan PPN kertas dan bantuan modal murah, mengingat perannya yang strategis bagi pembangunan bangsa.
Untuk itu, upaya Dewan Pers dan organisasi kewartawanan dalam meningkatkan kualitas awak media patut didukung. Pers adalah profesi terhormat yang orang-orangnya harusnya selalu menjaga kehormatannya. Jaga dan rawatlah kebebasanmu, atau orang lain akan merebutnya darimu.
(**)