Kemarin ada dua peristiwa yang menarik perhatian publik di tempat yang berbeda, namun memiliki kaitan antara yang satu dengan yang lain. Pertama, putusan hakim di PTUN Jakarta memenangkan gugatan kubu Aburizal Bakri dengan membatalkan SK Menkumham yang mengesahkan kepengurusan DPP Partai Golkar hasil Munas Ancol di bawah kepemimpinan Agung Laksono. Namun, putusan ini belum bisa dikatakan berkekuatan hukum tetap, karena kubu Agung Laksono secara langsung menyatakan banding.
Memang Menkumham belum menyatakan sikap resmi terhadap putusan PTUN tersebut. Belajar dari sebelumnya, diperkirakan Yasonna Laoly akan banding sama seperti kasus gugatan PPP. Ini berarti proses hukum masih akan bergulir ke pengadilan yang lebih tinggi. Padahal, masa pendaftaran calon kepala daerah sudah akan dimulai pada Juni ini.
Peristiwa kedua adalah pertemuan pimpinan DPR RI dengan Presiden Jokowi di istana yang antara lain membahas rencana revisi UU Pilkada dan Partai Politik.Revisi terkait Peraturan KPU soal pendaftaran calon peserta pilkada. Alasannya untuk memberi dasar hukum agar putusan sementara pengadilan berlaku sebagai syarat untuk mengikuti pilkada. Pasalnya, KPU memutuskan syarat untuk parpol yang bersengketa di pengadilan harus sudah memiliki kekuatan hukum tetap atau sudah islah sebelum pendaftaran Pilkada.
Putusan KPU tersebut telah sesuai dengan wewenang yang dimilikinya. Ketika UU Pilkada dan UU Parpol yang sekarang berlaku masih dibahas di tingkat panitia kerja DPR, pemerintah saat itu menyetujui usulan Komisi II yang ingin merevisi sejumlah poin guna menguatkan peran KPU dan Bawaslu. KPU saat itu diberi wewenang untuk menyusun peraturan KPU asal tidak bertentangan dengan UU yang ada.
Kini pimpinan DPR RI dan Komisi II yang sama berkeinginan mengubah apa yang sudah diputuskannya sebelumnya. Memang pertemuan dengan Presiden Jokowi belum menghasilkan keputusan tentang rencana revisi UU pilkada dan parpol. DPR RI tidak bisa berjalan sendiri membahasnya, tetap diperlukan dukungan pemerintah. Walaupun ada hak inisiatif parlemen, pembahasannya menurut konstitusi harus melibatkan legislatif dan eksekutif.
Kita berharap Presiden Jokowi dengan tegas menolak revisi UU Pilkada dan Parpol tersebut. Berbagai masalah di depan akan menghadang jika tetap dipaksakan. Selain bisa membuat waktu molor, anggaran pun akan membengkak. Kemungkinan digugat ke Mahkamah Konstitusi juga masih terbuka dan akan membuat Pilkada serentak tertunda lagi.
Presiden Jokowi harus berpikir jauh ke depan dengan mempertimbangkan kepentingan yang lebih besar. Revisi UU hanya karena kepentingan elite yang sifatnya sesaat harus ditolak. Jangan pula revisi ini menjadi ajang tawar menawar kepentingan di antara partai politik dengan pemerintah. Kita berkeyakinan Jokowi masih lebih mendengar suara rakyat dibanding segelintir elite.
Memang dengan UU Pilkada dan Parpol yang sekarang, peluang bagi Golkar dan PPP untuk mengikuti pemilihan kepala daerah akan tertutup jika masih bersengketa di pengadilan. Opsi terbaik adalah yang ditawarkan KPU, yakni kedua kubu yang bertikai melakukan islah. Lalu dalam rentang waktu yang ada segera melakukan konsolidasi untuk mengusung calon ke Pilkada.
Golkar dan PPP harus kembali ke tujuan awal terbentuknya partai politik antara lain untuk mengisi jabatan publik. Amat berbahaya bagi kedua partai yang eksis sejak zaman Orde Baru ini jika tak ikut dalam pilkada serentak tahun ini. Kader-kader terbaiknya akan lari ke partai lain karena tak memiliki peluang di rumahnya sendiri. Ini berarti “kiamatâ€, dan tidak tertutup kemungkina di pemilu berikutnya, Golkar dan PPP akan menjadi partai gurem.(**)