Latar belakang dan tujuan akhir munculnya gerakan reformasi kalau bisa disimpulkan tentu sama bagi seluruh rakyat Indonesia, yaitu perubahan, perubahan, dan perubahan. Dengan adanya perubahan akan membawa perbaikan dalam semua aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagaimana kita ketahui bersama, Orde lama gagal, maka muncullah orde baru. Orde baru gagal maka muncullah orde reformasi. Kalau orde reformasi mengalami kegagalan, orde apa lagi yang bakal muncul nantinya?
Doa segenap anak bangsa ini tentu mendorong keberhasilan orde reformasi. Berbagai gaya kepemimpinan telah dilakukan oleh presiden. Mulai dari BJ Habibie, Gus Dur, Megawati, SBY, sampai Jokowi, tetapi hasil maksimal belumlah di dapat. Seolah-olah selama 17 tahun ini segenap lapisan pemerintahan masih melakukan konsolidasi internal. Artinya, belum ada kesepakatan bulat tentang formula reformasi yang kita butuhkan sehingga apa yang jadi tujuan agung dari reformasi itu bisa berjalan dengan baik. Hal ini dikarenakan banyak titik kelemahan dari pemerintahan itu sendiri.
Dalam teori bernegara di manapun pemerintah adalah faktor yang paling utama melakukan perubahan karena pemerintah punya kuasa dan otoritas untuk itu. Pemerintah menguasai sumber daya negara dan menjalankan apa yang jadi peraturan dan hukum di negara itu. Dalam konteks NKRI tentu perubahan datang dari pemerintahan karena modal untuk melakukan perubahan ada di tangan pemeritahan, tinggal lagi langkah dan strategi apa yang harus dilakukan atau ditempuh oleh pemerintahan. Tetapi secara normatif, teori untuk melakukan perubahan sama. Mulai dari penciptaan pemerintahan yang bersih, penegakan hukum berkeadilan, mencegah korupsi, pelibatan masyarakat dalam perencanaan pembangunan dan penempatan sumber daya manusia di pemerintahan dengan tepat.
Hal inilah yang sampai sekarang sangat sulit dilakukan oleh pemerintah. Sebagai contoh, hanya untuk menyusun kabinet ahli dan profesional (zaken cabinet) saja presiden harus tersandera oleh berbagai kepentingan politik yang membelenggu, belum lagi sektor yang lain. Belum lagi penegakan hukum yang berkeadilan (law enforcement) yang sampai saat ini masih belum jelas. Pelemahan KPK dan pembantahan perintah presiden oleh aparat penegak hukum yang kita lihat merupakan bukti penegakan hukum kita masih sangat lemah.
Mencegah korupsi sebagai "extra ordinary crime" akan efektif jika penegakan hukum bisa dilakukan. Selagi remisi bagi koruptor masih diberikan, berarti upaya pencegahan tidak akan berjalan dengan baik. Menolak remisi bagi koruptor tentu merupakan upaya untuk melakukan efek jera. Di negara China untuk menciptakan efek jera dilakukan hukuman mati bagi koruptor. Hasilnya dapat kita lihat bagaimana pesatnya China sebagai sebuah negara dengan lompatan pertumbuhan ekonomi dan mutu pendidikan yang sangat hebat.
Kapan kita bisa mensejajarkan diri dengan Singapura dan Malaysia merupakan renungan khusus bagi negara ini setelah menjalani reformasi selama 17 tahun. Reformasi bisa terwujud dengan baik jika kita sepakat dalam banyak hal. Sepakat untuk menegakkan hukum untuk kepentingan bersama, sepakat untuk melibatkan masyarakat dalam pembangunan, sepakat untuk memajukan dunia pendidikan, sepakat untuk mencegah korupsi karena korupsi merupakan musuh bersama yang sangat membahayakan.
Keberhasilan reformasi itu merupakan hasil dari perilaku bernegara yang baik. Tanpa penemuan karakter yang baik, tanpa kepedulian kepada bangsa, dan tanpa sikap kenegarawanan, reformasi itu akan mengalami kegagalan total. Kita tentu tidak ingin reformasi itu gagal setelah 17 tahun berlalu. Sekarang, apa yang kita lakukan supaya reformasi itu tidak mengalami kegagalan setelah 17 tahun kita perjuangkan? Semua itu sangat tergantung kepada sikap kita sendiri untuk mendorong kereta reformasi itu sampai pada tujuannya tentu harus sesuai dengan semangat UUD 1945 dan Ideologi Pancasila.(#)