Komisi DPRD Sumatera Utara mengungkap temuan terbaru tentang kondisi jalan di daerah ini. Dari 3.048,50 kilometer jalan provinsi, sepanjang 520,75 kilometer atau sekitar 17,08 persen dalam kondisi rusak berat, terdiri dari 373,05 kilometer merupakan jalan tanpa perkerasan atau jalan tanah dan 147,7 kilometer dengan perkerasan lapisan aspal. Dalam kondisi baik sepanjang 1.190 kilometer, kondisi sedang 1.078,66 kilometer, rusak ringan 259,00 kilometer.
Untuk memuluskan semua jalan provinsi di Sumut tiga tahun ke depan pada tahun anggaran 2015-2018, dibutuhkan dana sebesar Rp 4.590 triliun lebih dengan asumsi setiap tahunnya dianggarkan sebesar Rp 1.530 triliun. Anggaran sebesar itu tak mungkin hanya dibiayai APBD Sumut. Tahun 2015 saja, hanya Rp 696 miliar dianggarkan untuk peningkatan kondisi jalan di Sumut. Itu pun sudah banyak berkurang dengan adanya pemotongan anggaran sebesar Rp 365 miliar untuk membayar utang Pemprov Sumut tahun-tahun sebelumnya.
Berarti target Pemprov Sumut untuk menjadikan semua jalan provinsi berstatus mantap di akhir tahun 2018 hanya mimpi saja jika hanya bergantung pada APBD. Harus ada kreativitas untuk mencari anggaran tambahan. Upaya klasik yang dilakukan semua daerah adalah mengajukan proposal ke pemerintah pusat agar ada alokasi anggaran dari APBN. Kompetisi antardaerah memperebutkan kue dari pusat sangat ketat dan yang tak waspada akan terjebak dengan janji-janji manis, tetapi yang terealisasi tak sesuai harapan daerah.
Harapan Pemprov Sumut terhadap revisi UU No 33 Tahun 2004 agar memperoleh dana bagi hasil dari perkebunan sampai kini belum kesampaian. Sumut yang memiliki lahan perkebunan terluas di Indonesia, sekitar dua juta hektare tersebut hanya menonton dana pajak sektor kebun diboyong ke pusat. Sektor perikanan dan kehutanan ada bagi hasil, padahal karakteristiknya sama-sama sumber daya alam yang dapat diperbaharui.
Daripada menunggu yang belum jelas, mengapa Pemprov Sumut tidak mengeksplorasi sumber dana yang ada di depan mata? Gubernur bisa memanfaatkan dana CSR (corporate social responsibility) perusahaan-perusahaan besar terutama perkebunan. Pemprov DKI di masa Jokowi menjadi gubernur dan dilanjutkan Ahok secara bijak menggunakan CSR perusahaan untuk membantu pembangunan yang dibiayai APBD. Jalan yang rusak akan mulus dengan menggunakan dana CSR perusahaan perkebunan.
CSR merupakan wujud dari tanggung jawab sosial perusahaan yang saat ini mempunyai peranan yang cukup penting dalam upaya mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Peraturan perundang-undangan di Indonesia yang mengatur tentang penerapan CSR di antaranya seperti Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT) dan Undang-undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (UU Penanaman Modal) serta Peraturan Pelaksana No. 47 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan. Dasar hukum bagi Pemprov Sumut untuk menagih tanggung sosial perusahaan sangat kuat untuk memperbaiki jalan rusak.
Memang ada pendapat yang menyatakan konsepsi tentang CSR dalam aturan yang sudah ada belum memenuhi yang sebenarnya, sebagaimana yang diakui dunia global dalam ISO 26000. Makna CSR dalam masing-masing peraturan tersebut mempunyai perbedaan. Keadaan tersebut di beberapa daerah menimbulkan berbagai permasalahan dalam penerapan CSR. Sering program CSR perusahaan tidak sinkron dengan rencana pembangunan daerah, bahkan tumpang tindih.
Pemprov Sumut harus menginisiasi adanya sebuah forum diskusi antara perusahaan dan stakeholdersnya untuk menyinergikan program CSR dengan kebutuhan pembangunan daerah. Gubernur bersama DPRD misalnya, bisa menetapkan prioritas penggunaan CSR untuk perbaikan jalan selama lima tahun ke depan, tanpa mengganggu program internal perusahaan yang sudah berjalan. Untuk mengikatnya perlu payung hukum berupa peraturan daerah (Perda) yang mengatur teknis pelaksanaannya.
Tinggal itikad baik Gubernur dan DPRD Sumut untuk mewujudkannya. Dalam catatan, ada tiga jenis perusahaan perkebunan yang beroperasi di daerah ini, mulai dari BUMN, swasta asing dan swasta nasional. BUMN perkebunan papan atas Indonesia ada di Sumut, seperti PTPN III dan PTPN IV. Belum lagi perusahaan swasta asing yang telah lama eksis sejak zaman kolonial. Ayo manfaatkan CSR perusahaan perkebunan bagi kesejahteraan rakyat Sumatera Utara! (**)