Kasus ijazah palsu bukan kali ini saja mencuat kepermukaan. Hukuman penjara bagi para pemalsu ternyata tidak menyurutkan kejahatan intelektual tersebut. Hanya modus dan pelakunya yang berganti seiring bergantinya zaman.
Dulu sebagian besar pemalsu berada di luar kampus dengan menjual lembaran ijazah. Sekarang beroperasi di kampus yang memiliki izin resmi. Tak perlu kuliah sesuai ketentuan, dengan membayar sejumlah uang, bisa wisuda dan menerima ijazah asli tapi palsu.
Bisnis ijazah palsu eksis mengikuti hukum pasar. Transaksi terjadi karena ada permintaan. Banyak manusia Indonesia yang ingin memiliki gelar sarjana yang wah, tetapi tak mau bersusah payah mengikuti proses pendidikannya.
Kebanggaan semu telah merasuk sendi-sendi pengguna ijazah palsu. Tumbuh subur karena masyarakat kita masih silau dengan gemerlapnya gelar sarjana. Ada anggapan makin banyak deretan gelar di belakang namanya, orangnya makin hebat.
Penghargaan terhadap prestasi dan kinerja masih rendah di negeri ini. Orang dengan sederet gelar lebih mendapat tempat, tanpa mempersoalkan bagaimana dia memperolehnya. Ini yang membuat pemalsuan ijazah tetap marak walau perbuatan tersebut diancam pidana.
Tindakan Menristekdikti yang membongkar keterlibatan kampus dalam penerbitan ijazah palsu perlu diapresiasi. Kita berharap nama-nama perguruan tinggi tersebut diungkap secara terbuka. Pelaku dan pengguna harus diseret ke depan hukum. Kejahatan intelektual layak dijatuhi hukuman yang berat.
Pengguna ijazah palsu perlu diberi sanksi sosial, selain sanksi hukum. Pemerintah tidak boleh menoleransi penggunaan ijazah palsu bagi para PNS dan pejabatnya. Bukan rahasia lagi, banyak pejabat publik mendadak mendapat gelar S1, S2, bahkan S3 dalam waktu yang singkat.
Pengguna ijazah palsu masih nyaman sebab yang banyak ditindak hanya pemalsu saja. Malah tak sedikit pengguna menduduki jabatan publik tak tersentuh hukum. Malah dengan bangga memamerkannya dengan berbagai cara.
Memberantas ijazah palsu memang bukan hal yang mudah. Persoalannya sangat kompleks. Tidak semata-mata pidana pemalsuan, tetapi terkait dengan masalah sosial. Persepsi soal gelar harus diubah, untuk menilai seseorang. Ini tugas bersama, yang dimulai dari lembaga pendidikan. Gelar sarjana penting, tetapi kinerja dan karya jauh lebih utama.
(**)