Tak bisa dibantah, Sumatera Utara merupakan representasi dari Indonesia. Sudah sejak lama di provinsi ini beragam etnis dan agama hidup secara bersama-sama. Satu sama lain sudah mengalami proses sosial yang panjang, antara lain kerjasama, akomodasi, asimilasi dan akulturasi. Ada juga konflik dan persaingan yang berlangsung secara wajar, namun tidak menimbulkan perpecahan.
Berdasarkan hasil Sensus Penduduk 2010, penduduk Sumatera Utara terdiri atas 66 persen pemeluk Islam, 31 persen Kristen (Protestan dan Katolik), serta 3 persen agama lain. Berdasarkan etnis, tercatat Jawa sebanyak 33,4 persen, Batak Toba (22,3 persen), Mandailing (9,5 persen), Nias (7,1 persen), Melayu (6,0 persen), Karo (5,5 persen), Tionghoa (2,7 persen), Minang (2,6 persen), Simalungun (2,4 persen), Aceh (1,0 persen), Pakpak (0,8 persen), dan suku lain.
Keragaman etnis dan agama di Sumut memengaruhi dinamika politik. Implikasinya sudah terlihat dalam peta kekuatan organisasi politik di derah ini sejak Pemilu 1955 hingga Pemilu pada masa Orde Reformasi. Preferensi pemilih cenderung berdasarkan kedekatan primordialisme dan keagamaan. Fakta ini tak bisa dipungkiri sehingga setiap calon pasti menjadikannya sebagai pertimbangan utama.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sumut telah mengumumkan ada 23 kabupaten/kota yang akan melakukan Pilkada serentak tahun 2015 ini. Saat ini partai politik sedang melakukan proses seleksi untuk menentukan siapa calon yang akan diusungnya. Prosesnya lebih rumit untuk partai yang harus berkoalisi agar bisa mencalonkan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Keputusan lebih kompromistis karena harus tawar menawar dengan partai lain.
Semua partai tentu saja menginginkan calonnya memenangkan pertarungan dalam Pilkada. Pengalaman dari sebelumnya, apa yang terjadi di Pemilu legislatif dan Pemilu presiden tidak berbanding lurus hasilnya dengan Pilkada. Figur dan komposisi pasangan lebih menentukan siapa yang menjadi pemenang. Rekam jejak calon sangat penting dan sejauhmana pasangan tersebut merepresentasekan konfigurasi kekuatan yang ada di masyarakat.
Heterogenitas Sumut harus menjadi pertimbangan utama. Walau di beberapa daerah, ada kecenderungan homogen, namun jumlahnya sangat sedikit. Bisa saja dari segi agama memang homogen, namun etnis sangat beragam. Partai politik tentu sangat mengerti situasi sosial politik di Sumut. Semua dihitung cermat kalau ingin menang dalam Pilkada serentak kali ini.
Dari konfigurasi penduduk, peluang ‘pasangan pelangi’ lebih besar dibanding calon yang hanya menggambarkan satu warna saja. Pasangan pelangi berpotensi meraih suara dari berbagai kelompok masyarakat. Misalnya, kepala daerah dari agama atau etnis A, maka wakilnya dari B. Maka peluang mendulang suara dari kelompok A dan B lebih besar, dibanding jika hanya dari satu kelompok saja.
Memang masih ada pesimisme dalam penyelenggaraan Pilkada. Masih banyak yang tidak percaya dengan proses demokrasi yang berlangsung secara sehat. Politik uang masih diyakini bisa membeli suara pemilih. Fakta menunjukkan pada pemilihan presiden yang lalu, orang memilih bukan karena uang.
Kita berharap partai politik dan kandidat berani mendeklarasikan pasangan pelangi. Mengumumkan sejak awal justru lebih baik untuk menarik simpati masyarakat Sumut yang majemuk. Sebaliknya partai yang masih ragu mengusung pasangan pelangi akan mendapat penilaian tersendiri dari rakyat Sumut.
(**)