Dunia jasa konstruksi selalu menarik bagi orang-orang untuk menggelutinya. Sebab sektor jasa konstruksi selalu diidentikkan dengan proyek dan uang. Ibarat gula selalu dikerubungi semut yang menginginkan manisnya. Sebenarnya, proyek ada milik pemerintah dan ada yang disediakan pihak swasta. Namun proyek pemerintah yang sering menjadi rebutan dan menjadi perbincangan publik.
Proyek pemerintah dianggap sangat rentan dengan intervensi tangan-tangan yang memiliki kekuasaan. Siapa yang berkuasa atau dekat dengan penguasa dinilai bisa mengatur pemenang lelang proyek. Itu sebabnya banyak pemborong berlomba melakukan pendekatan dengan harapan bisa mendapat kue proyek.
Persaingan dalam memperebutkan proyek sarat dengan intrik dan saling sikut. Pemerintah telah menetapkan aturan main untuk mencegah terjadinya permainan dalam proses lelang proyek, Namun tetap saja ada ketidakpuasan berujung tuduhan proses penetapan pemenang lelang. Ada aroma KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme).
Sebenarnya wajar saja pemenang proyek memiliki kedekatan dengan kekuasaan, asal memang memiliki kelayakan yang telah disyaratkan dalam ketentuan yang berlaku. Masalahnya, seperti yang diungkap Komisi D DPRD Sumut, banyak pemborong saat ini yang dadakan. Tak memiliki latar belakang sebagai pengusaha jasa konstruksi, tiba-tiba muncul ke permukaan dan menguasai banyak proyek.
Tak terhindarkan lagi kuatnya dugaan ada permainan dalam penetapan pemenang proyek tersebut. Bisa saja persyaratan secara formal terpenuhi, sehingga ketika disanggah, panitia bisa berkelit. Akibatnya kualitas proyek yang dilaksanakan rendah hanya bertahan setahun atau dua tahun. Jelas yang rugi adalah pemerintah sebab harus mengeluarkan uang lagi untuk memperbaikinya.
Tetapi jika pemenang proyek ternyata pengusaha yang kompeten dan berpengalaman, tak perlu diributi dengan mencari-cari kesalahan. Pengusaha yang belum mendapat proyek harus berbenah dan introspeksi diri, menunggu giliran berikutnya. Bukan malah mempersoalkan proyek yang sebenarnya tidak bermasalah.
Kepala Dinas PU sebaiknya memiliki latar belakang pendidikan yang sesuai dengan jabatannya. Hal ini penting supaya dia menguasai masalah teknis di dinasnya. Walau Tugas Kadis sehari-hari lebih bersifat kebijakan, tetap saja soal teknis penting. Sebab Dinas PU dan sejenisnya berkaitan dengan pekerjaan di lapangan, mulai perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan proyek pisik.
Sorotan DPRD Sumut soal latar belakang kepala dinas ini diharapkan menjadi momentum melakukan evaluasi. Tempatkanlah pejabat sesuai kompetensi dan kapasitasnya. Apalagi untuk dinas teknis, pejabatnya sebaiknya memiliki kualifikasi yang dibutuhkan untuk pekerjaaan tersebut. Bukan sekadar pangkat dan golongan sudah memenuhi syarat formal.
Dewan pun bisa berperan mengawal dan mengawasi kinerja Ekskutif. Caranya sesuai dengan kewenanangan yang dimilikinya, yakni membuat Peraturan Daerah. Jika ingin dunia jasa konstruksi tidak karut marut maka, diatur dalam Perda. Begitu juga tentang latar belakang pendidikan Kadis PU, dituangkan tertulis, sehingga gubernur mau tak mau harus mempedomaninya.
(**)