Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan
Selasa, 15 Juli 2025

Memilih Pemimpin yang Adil

- Sabtu, 22 Agustus 2015 09:33 WIB
298 view
Memilih Pemimpin yang Adil
Sangat mencerahkan pernyataan MAARIF Institute, bahwa memilih pemimpin bukan berdasarkan agama, melainkan apakah dia adil atau tidak. Untuk apa memilih pemimpin yang seagama tetapi perilakunya korup. Jadi kendati dia bukan seagama, asal memenuhi kriteria adil, layak dipilih sebagai pemimpin.

Dari berbagai pemilihan di Indonesia, apakah pemilihan kepala desa, pemilihan kepala daerah, pemilihan legislatif dan pemilihan presiden, kebanyakan referensinya karena kedekatan etnik, agama, dan daerah asal. Akibatnya, banyak calon yang memanfaatkan isu tersebut untuk meraih suara atau black campaign untuk kompetitornya. Sayangnya, banyak pemimpin umat yang ikut-ikutan berpolitik sehingga menyeret pengikutnya, yang sebenarnya tidak tahu apa-apa.

Padahal pada pemilihan-pemilihan tersebut, yang dipilih bukan pemimpin agama atau golongan tertentu saja, melainkan untuk semua umat. Tetapi karena kekerdilan calon pemimpin, isu agama, etnis dan daerah dipolitisir. sehingga bisa memicu terjadinya konflik horizontal dan vertikal. Jika itu terjadi, bisa merembet ke mana-mana, dan merugikan banyak orang.

Mestinya para calon pemimpin harus banyak-banyak dulu belajar sejarah Indonesia dan tentang Pancasila. Founding fathers negeri ini sangat beragam, tidak dari satu etnis atau agama saja. Ada banyak orang dari latar belakang etnis, agama dan daerah-daerah berbeda yang berjasa mendirikan negara ini karena ada kebersatuan. Mereka semua berjiwa besar seperti tampak dari risalah persidangan BPUPKI (Badan Penyidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) dan PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia ), yang akhirnya sepakat tentang UUD 1945 dan Pancasila.

Dasar negara Pancasila, memberi ruang bagi semua agama, etnis dan golongan untuk berkiprah. Indonesia berdasar atas Tuhan Yang Maha Esa, tetapi bukan berdasarkan agama. Sejarah mencatat berbagai upaya mengubah dasar negara digagalkan. Bukan semata-mata karena kehebatan negara ini, tetapi diyakini ada campur tangan Tuhan Yang Maha Esa supaya Pancasila tetap kokoh sebagai pondasi bangsa.

Jika sejarah bangsa dan Pancasila saja tidak paham, bagaimana bisa menjadi seorang pemimpin bagi Indonesia, baik untuk level desa, kabupaten, kota, provinsi maupun negara? Pemimpin mesti menjadi penegak ideologi Pancasila. Dia tak boleh menghianati sejarah, yang telah teruji dalam rentang waktu, bahwa Indonesia itu Bhineka Tunggal Ika.

MAARIF Instute tentu memiliki dasar yang kuat mengapa membahas kriteria pemimpin bukan karena dasar agama. Apalagi menjelang penyelenggaraan Pilkada serentak tahun ini, dikhawatirkan kelompok radikalisme menggunakan isu ini untuk mengacau. Bisa juga calon kepala daerah yang berwawasan sempit memanfaatkannya demi kepentingannya sendiri, tanpa mempertimbangkan dampaknya.

Jika seorang calon pemimpin berbeda agama atau etnis, tetapi rekam jejaknya terkenal baik, programnya jelas, dan tidak korupsi, bukankah layak dipilih? Mengapa harus tutup mata, memaksakan diri memilih orang, yang sebenarnya mafia, koruptor, dan rekam jejak tak jelas, hanya karena alasan satu agama atau etnis? Marilah belajar melihat apakah dia calon pemimpin yang adil atau tidak. Pemimpin yang benar-benar pemimpin, baik bagi mayoritas maupun bagi minoritas.

Seruan MAARIF Institute ini harus menjadi agenda nasional bagi KPU untuk menyosialisasikannya. Dalam Pilkada serentak tahun ini, diharapkan orang memilih bukan lagi seperti beli kucing dalam karung, hanya karena satu agama. Semua harus siap dan mendukung, jika nanti pemenang pilkada ternyata beda agama dengan kita.(**)


SHARE:
Tags
komentar
beritaTerbaru