Masing-masing KPU Kabupaten Kota di Sumatera Utara telah menetapkan pasangan calon kepala daerah yang bertarung pada Pilkada serentak akhir tahun ini. Ada sebanyak 73 pasangan yang menjadi calon di 23 kabupaten kota. Tujuh daerah hanya memiliki dua pasangan calon, sembilan daerah memiliki tiga calon, satu daerah memiliki lima calon, dan satu daerah lagi yakni Kabupaten Karo memiliki tujuh calon. Mereka dianggap telah memenuhi semua persyaratan yang diperlukan menjadi calon kepala daerah.
Sesuai ketentuan UU Pilkada, calon kepala daerah yang telah ditetapkan tak bisa mundur lagi. Khusus bagi calon perorangan, sanksi yang akan dijatuhkan lebih berat, dibanding dari partai atau gabungan. Dua sanksi akan dijatuhkan yakni sanksi administratif dan pidana. Sedangkan pasangan calon yang didukung partai politik atau gabungan partai politik tidak akan dikenakan sanksi administratif, namun tetap akan menerima sanksi pidana. Selain itu partai politik pengusung juga tidak boleh mengajukan calon pengganti pada proses tahapan Pilkada.
Bagi calon perseorangan, penerapan sanksi telah diatur dalam Undang-Undang Pilkada Nomor 8 tahun 2015 Pasal 53 ayat 4. Sanksi administratifnya berupa denda sebesar Rp 20 miliar untuk pasangan calon gubernur dan calon wakil gubernur. Sementara untuk pasangan calon bupati/wali kota denda sebesar Rp 10 miliar. Untuk sanksi pidana baik untuk calon perseorangan maupun calon dari partai politik diatur dalam Pasal 191 ayat 1 dan 2 dengan ancaman penjara paling lama 60 bulan serta denda maksimal Rp 50 miliar.
Selanjutnya, bagi calon kepala daerah atau wakil kepala daerah yang berasal dari PNS, anggota dewan dan Polri-TNI, wajib mengundurkan diri. Mereka diberikan deadline selama tiga hari untuk mengundurkan diri dari jabatannya, terhitung sejak penetapan calon kepala daerah yang dilakukan KPUD Senin kemarin. Jika calon yang sudah ditetapkan dari kalangan PNS, anggota dewan dan anggota Polri tidak juga mundur sesuai deadline yang sudah ditetapkan, maka statusnya sebagai calon kepala daerah akan digugurkan.
Apabila dalam waktu tiga hari, calon kepala daerah tidak berhenti atau mengundurkan diri, maka KPU memberikan kesempatan calon diganti dengan waktu selama 10 hari. Kalau tidak, ini berarti pelaksanaan Pilkada terancam ditunda. Sebaliknya, apabila ada pergantian sesuai dengan aturannya, maka yang dipotong adalah masa kampanye para calon. Karena waktu sudah digunakan untuk melakukan perbaikan atau pergantian calon serta sosialisasi adanya pergantian tersebut.
Tahapan selanjutnya setelah penetapan calon adalah masa kampanye. Meski yang lain tak kalah krusial, masa kampanye memiliki potensi konflik yang besar. Adanya pengerahan massa membuka peluang terjadinya konflik horizontal di antara sesama pendukung calon. Di setiap daerah, potensi konflik berbeda-beda, biasanya makin sedikit calon, polarisasi massa makin besar. Setiap pasangan calon diharapkan mematuhi rambu-rambu yang ada agar tidak memicu terjadinya gesekan dengan yang lain.
Panwas dan KPUD harus berani menindak pasangan calon yang dianggap melanggar. Apalagi untuk pelanggaran yang dianggap berpotensi menimbulkan kerusuhan, seperti penggunaan isu sara. Semakin berwibawa penyelenggara Pilkada, maka pasangan calon bersama timnya akan berpikir ulang jika ingin melanggar aturan yang ada. Jika sejak awal KPU dan Panwas tak menunjukkan ketegasannya, maka pelanggaran akan semakin kerap dilakukan dan konflik pun bisa terjadi.
Polisi telah menyatakan komitmennya untuk mengawal pelaksanaan Pilkada serentak. Mereka bukan hanya mempersiapkan upaya represif dengan pembentukan Gakkumdu (Penegakan Hukum Terpadu), tetapi juga upaya preventif, dengan menyebar polisi ke titik-titik yang dianggap rawan. Pasangan calon yang telah ditetapkan misalnya, telah mendapat pengawalan resmi dari kepolisian selama 24 jam. Setiap kampanye yang dilakukan calon kepala daerah akan mendapat penjagaan sesuai dengan porsinya.
(**)