Pemerintah batal mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti UU (Perppu) untuk mengatasi kebakaran hutan dan bencana asap. Sebagai gantinya akan diterbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Pencegahan dan Penanganan Kebakaran Hutan. Alasannya membuat Perpres jauh lebih cepat dari Perppu yang membutuhkan waktu lama. Direncanakan aturan baru ini bisa rampung akhir November 2015.
Perpres memuat aksi bersama pencegahan kebakaran hutan. Tujuannya agar kebakaran tidak akan terulang di masa mendatang. Isi Perpres tersebut paling tidak memuat dua hal. Pertama, memuat kewajiban perusahaan pemegang hak guna usaha (HGU) dalam early warning system mencegah kebakaran hutan. Kontrak akan diteken pengusaha dengan Kementerian Agraria dan Tata Ruang /Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Kedua, pemerintah akan menunjuk lembaga yang berperan dalam pencegahan kebakaran. Pemerintah akan mendorong penguatan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) untuk mengoordinasikan pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota, serta pengusaha bila ada titik api. Dengan begitu, potensi meluasnya kebakaran hutan bisa ditekan karena semua komponen bergerak lewat komando KPH.
Tata cara penanganan kebakaran secara efektif akan ikut masuk dalam Perpres tersebut. Mulai dari adanya sistem peringatan dini hingga penanganan kebakaran kecil, sebagai upaya mencegah membesarnya kebakaran di lahan gambut. Nanti mulai early warning system, tindakan awal, monitoring dan kelembagaan ada diatur dalam Perpres. Jadi tindakan yang dilakukan bisa efektif, misalnya kalau ada kebakaran kecil, bisa langsung dipadamkan, karena perusahaan terlibat langsung.
Sudah disiapkan kebijakan satu peta untuk kawasan hutan dan di luar kawasan hutan, pengelolaan di lahan gambut maupun non gambut, serta upaya melibatkan masyarakat dalam pencegahan kebakaran hutan. Artinya antar kementerian dan lembaga negara tidak ada lagi perbedaan dalam melihat persoalan sebab tolak ukur berdasarkan satu peta yang berlaku secara nasional. Partisipasi masyarakat juga sangat penting sehingga akan diatur bagaimana mereka terlibat dalam upaya mencegah kebakaran hutan dan lahan.
Konsorsium Pendukung Sistem Hutan Kerakyatan (KPSHK) bersama Indonesia Budget Center (IBC) dalam pernyataan sikapnya telah mengkritisi Pemerintah yang dinilai belum fokus pada pembangunan kehutanan. Hal ini terlihat juga dari pertumbuhan anggaran sektor kehutanan yang mengalami penurunan dari rata-rata 1,04 persen menjadi 0,84 persen terhadap dari total belanja kementerian dan lembaga negara. Bahkan jumlah anggaran yang dialokasikan selama ini terhadap total luas kawasan hutan dan perairan Indonesia hanya sebesar Rp44.194/hektare/tahun (2011-2015).
Secara terpisah, Walhi tak memersoalkan perubahan kebijakan mencegah kebakaran hutan dari Perppu ke Perpres. Asalkan, poin-poin yang diatur dalam Perpres mampu menjawab secara komprehensif atas persoalan kebakaran hutan, agar pelaksanaannya optimal. Kebijakan baru tersebut mesti memuat tiga hal. Pertama, kewajiban mereview semua hak guna usaha yang dimiliki pengusaha. Kedua, kepastian sanksi berupa penegakan hukum. Terakhir, adanya pelarangan pemberian izin di lahan gambut.
Sebelumnya empat mahasiswa UGM telah menawarkan solusi mencegah dan memadamkan kebakaran hutan, khususnya gambut. Solusi tersebut menggunakan teknologi integrated water ground fire wetland system (I-wows). Biayanya murah karena memanfaatkan sungai di sekitar kebakaran dan penggunaan zeolit. Bahkan mereka memiliki cara mendeteksi adanya kebakaran. Ini bermakna banyak kreasi anak bangsa yang bisa dimanfaatkan pemerintah dalam mengatasi kebakaran hutan.
Mengingat dampak kabut asap akibat kebakaran hutan bukan lagi hanya di dalam negeri, tetapi negara jiran sudah kena, maka wajar diambil tindakan luarbiasa untuk menanganinya. Koordinasi merupakan kata kunci keberhasilan mencegah dan memadamkan titik api. Sebab ada banyak institusi termasuk perusahaan dan masyarakat sekitar yang terlibat. Perlu diingat bahwa biaya mencegah jauh lebih murah daripada memadamkan kebakaran hutan. (**)