Menkum HAM Yasonna Laoly kembali membuat gebrakan. Tidak sampai dua jam, putera Sumut ini bersama unsur Pemerintah lainnya merevisi PP 27/1983 tentang Ganti Rugi Korban Salah Tangkap/Korban Peradilan Sesat. PP 27 ini telah berumur 32 tahun dan tidak pernah disentuh bak ayat suci. Padahal selama ini sudah banyak desakan untuk merevisinya dan baru terwujud akhir tahun 2015 ini.
Kesalahan itu bisa terjadi di tingkat polisi, jaksa bahkan oleh hakim sendiri. Jika kesalahan sampai tingkat hakim, maka sempurnalah peradilan sesat. Korbannya bisa siapa saja dari semua kalangan. Lamanya menjadi korban salah tangkap dan peradilan sesat juga beragam, dari satu hari hingga bertahun-tahun. Tentu saja keadilan harus ditegakkan.
Prosesnya berlangsung cepat dan tanpa kegaduhan di media massa dan media sosial. Berawal dari rekomendasi Ditjen Peraturan Perundang-undangan, usulan revisi diteruskan ke Presiden Joko Widodo pada akhir Oktober 2015. Pada pekan pertama November 2015, Kemenkum HAM menerima persetujuan dan perintah Presiden Jokowi untuk merevisi PP 27 tersebut. Lalu Kemenkum HAM kemudian menyusun draft revisi dan setelah jadi, Yasonna mengundang Mahkamah Agung (MA), Jaksa Agung, Kapolri dan Menteri Keuangan. Dalam rapat dua jam, semua sepakat dengan usulan tersebut.
Dalam PP 27/1983 itu, korban salah tangkap hanya diganti rugi Rp 5 ribu hingga Rp 1 juta. Jika korban meninggal dunia, maka akan diganti maksimal Rp 3 juta. Angka itu sangat minim dibanding kerugian material, apalagi moril yang dialami korban salah tangkap. Belum lagi tidak adanya batasan waktu pembayaran terhadap korban. Akibatnya ada korban salah tangkap sudah dua tahun tak menerima ganti rugi.
Dalam revisi PP tersebut, kini mekanisme pembayaran ganti rugi maksimal 14 hari. Padahal draft awal maksimal 90 hari. Artinya, korban salah tangkap/korban peradilan sesat harus sudah menerima ganti rugi maksimal dua pekan setelah putusan ganti rugi diketok dan berkekuatan hukum tetap. Korban ganti rugi salah tangkap/korban peradilan sesat diganti Rp 500 ribu hingga Rp 100 juta, jika luka/cacat maka diganti Rp 25 juta-Rp 100 juta, dan apabila meninggal dunia, maka diganti Rp 50 juta-Rp 600 juta.
Mau tidak mau penyidik penegak hukum mesti bekerja profesional. Tidak boleh terulang lagi tindakan asal tangkap tanpa alat bukti yang mendukung. KUHAP sebenarnya mengatur dua alat bukti minimal untuk menjadikan seseorang menjadi tersangka. Lembaga penegak hukum harus memersiapkan aparatnya dengan baik, supaya mengedepankan asas profesionalisme dalam tugas.
Sebab jika penegak hukum tidak profesional maka negara yang menanggung beban kerugiannya. Tentu saja yang melakukan kesalahan tidak akan lepas begitu saja. Diharapkan kepolisian, kejaksaan dan lembaga penegak hukum lainnya membuat aturan yang menjabarkan tindakan yang diambil bagi petugas yang melakukan kesalahan bagi yang salah tangkap/korban peradilan sesat.
Kita mengapresiasi respons cepat pemerintah merevisi PP yang selama ini dianggap merugikan korban salah tangkap. Revisi ini membawa semangat baru untuk lebih profesionalnya aparat penegak hukum. Diharapkan ke depan jumlah korban salah tangkap dan peradilan sesat makin berkurang. Jika makin rendah, itu menjadi indikator keprofesionalan aparat penegak hukum dalam menjalan tugas.
Pemerintah perlu segera menyosialisasikannya kepada masyarakat dan petugas penegak hukum sendiri. Paling penting, kemana korban salah tangkap dan peradilan sesat mengadukan nasibnya. Berapa lama akan ditangani dan kepastian bagi korban untuk mendapatkan haknya. Sebab hukum pada hakekatnya bukan untuk memberi sanksi tetapi untuk mengayomi. (**/h)