Presiden Jokowi bertekad membangun sistem dan tata kelola pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi. Untuk itu pemerintah melakukan langkah percepatan reformasi birokrasi termasuk di dalamnya reformasi pelayanan publik dan perizinan.
Mekanisme kerja birokrasi harus diarahkan ke pemerintahan elektronik atau e-government, mulai dari cash flow management system, pajak online, e-budgeting, e-purchasing system, e-catalog, pemanfaatan whistle blower system dan lain-lain. Banyak pekerjaan birokrasi yang bisa dilakukan jauh lebih efisien dengan menggunakan teknologi birokrasi. Kata kuncinya adalah membangun e-government untuk meningkatkan pelayanan publik dan memperkuat transparansi akuntabilitas.
Sebenarnya pemerintah punya sistem Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) dalam rangka penerapan e-goverment. Soal hasil penerapannya, terbilang cukup berhasil. Dalam delapan tahun lalu, layanan tersebut telah mampu menghemat anggaran mencapai Rp 83 triliun. Penghematan tersebut akan terus bertambah jika semua institusi negara menggunakan sistem LPSE dalam pengadaan barang dan jasa.
Keberadaan LPSE di bawah pimpinan kepala daerah jumlahnya pun makin bertambah, dari yang awalnya hanya lima LPSE, kini jumlahnya mencapai 631 unit dengan total nilai transaksi sampai akhir November 2015 mencapai Rp 1.080 triliun. Ketua Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) Agus Prabowo mengatakan LPSE sebagai salah satu alat reformasi pengadaan telah memberikan kontribusi terhadap kelangsungan sistem pengadaan di Indonesia. LPSE diharapkan menjadi unit pendorong percepatan implementasi e-goverment.
Dari penghematan anggaran mencapai Rp83 triliun, setara dengan enam proyek pembangunan jalan tol Cipali atau 80 proyek waduk di seluruh Indonesia. Berarti pemerintah sebenarnya telah memiliki pondasi kuat untuk meneruskan penerapan sistem e-government. Tinggal mendorong agar semua daerah menerapkannya dengan sungguh-sungguh. Perkembangan internet yang sudah maju akan membuat daerah tidak kesulitan dalam mempersiapkan infrastrukturnya. Tinggal bagaimana kemauan politik pemerintah daerah untuk menerapkannya. Harus diakui belum semua siap untuk mengimplementasikan e-government dengan berbagai alasan. Ini penjadi pekerjaan rumah Presiden Jokowi untuk menjadikan semua lembaga publik menerapkan sistem tersebut. Bila perlu, pemerintah pusat yang menyiapkan infrastruktur dan melatih orang yang mengelolanya.
Perlu disadari korupsi bukan hanya merugikan keuangan negara, tapi juga merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan. Korupsi terbukti telah memiskinkan warga dunia, membawa ketidakadilan, ketimpangan, keterbelakangan dan menjauhkan bangsa-bangsa dari kemakmuran bersama. Itulah sebabnya korupsi menjadi musuh bersama warga dunia, serta musuh semua bangsa-bangsa.
Korupsi di Indonesia berkembang, berevolusi, sampai pada tahap dilakukan secara sistematis dan bahkan sudah berjejaring. Karena sudah masuk sampai masa berjejaring, maka untuk melawan korupsi perlu keberanian untuk menjalankan dua langkah aksi pencegahan yang betul-betul nyata, serta tindakan penegakan hukum yang betul-betul tegas. Tindakan pencegahan tidak kalah pentingnya dengan penegakan hukum.
Untuk mencegah dan memerangi korupsi memerlukan langkah-langkah komprehensif. Kata kuncinya adalah partisipasi rakyat untuk terlibat dalam melawan korupsi. Tak kalah penting adalah kerjasama bahu membahu antar lembaga-lembaga penegak hukum. Ada sinergi antara eksekutif, legislatif dan yudikatif. Mutlak diperlukan keteladanan para pemimpin, pemegang kekuasaan dari pusat sampai daerah untuk berdiri di depan membangun kepemimpinan yang bebas korupsi. (**)