Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan
Selasa, 15 Juli 2025

Pengakuan Jujur Pelanggaran HAM di Indonesia

- Minggu, 13 Desember 2015 12:16 WIB
353 view
Pengakuan Jujur Pelanggaran HAM di Indonesia
Presiden Jokowi memberi pengakuan resmi bahwa di Indonesia masih banyak kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang belum terselesaikan. Dia mengaku telah mendorong jajarannya untuk memercepat penyelesaian pelanggaran HAM. Semua menurutnya harus punya keberanian untuk melakukan rekonsiliasi atau mencari terobosan penyelesaian melalui jalur-jalur judisial maupun non judisial.

Selain pelanggaran HAM masa lalu, Pemerintah juga menghadapi tantangan untuk menyelesaikan konflik agraria, penghormatan terhadap hak masyarakat adat, pemenuhan hak atas pendidikan dan kesehatan. Kemudian, pemenuhan hak dasar kelompok terpinggirkan, penyandang disabilitas, dan kelompok minoritas karena perbedaan etnis atau agama.

Dalam diskusi publik yang mengangkat tema "Satu Tahun Pemerintahan Jokowi-JK dan Cita-cita Indonesia tanpa Pelanggaran HAM,” di Gedung LBH Jakarta beberapa hari lalu, terungkap Indonesia masih rentan. Pertama, pelanggaran terhadap hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan. Terdapat 1.000 rumah ibadah ditutup bahkan dirusak masyarakat penganut agama mayoritas setempat, kebanyakan adalah gereja. Selain itu, terdapat 600 orang penganut aliran Syiah di Sampang yang dipaksa untuk menganut aliran Sunni. Karena tidak mau kemudian mereka diusir dari daerah tersebut.

Kedua, kekerasan seksual terhadap perempuan yaitu adanya tes keperawanan terhadap calon anggota TNI dan Polri. LSM sudah sudah lama meminta TNI dan Polri untuk menghentikan praktik tersebut namun tetap saja diterapkan dengan alasan untuk mengetahui kesehatan reproduksi calon anggota seperti adanya penyakit keputihan dan myom. Padahal tanpa melakukan tes keperawanan, penyakit tersebut dapat dideteksi dengan tes urine.

Ketiga, kasus pelanggaran HAM masa lalu yang hingga kini  masih menggantung. Ketika Komnas HAM telah melakukan penyelidikan, mestinya Kejaksaan Agung melakukan penyidikan. Namun sudah 15 tahun kasus Semanggi 1 dan 2 berlalu, belum ada juga tindaklanjut kasus tersebut.  Keempat, kondisi ekonomi, sosial dan budaya yang masih belum berkembang.

Mantan Wakil Ketua MPR Hajriyanto Y Tohari mengatakan, penyelesaian pelanggaran HAM di masa lalu seharusnya sudah selesai sekarang ini. Sebab, secara eksplisit negara sudah mengakui adanya konflik horizontal yang terjadi karena penyalahgunaan kekuasaan yang berimbas pada pelanggaran HAM. Melalui TAP MPR No XVII/1998 tentang HAM dan TAP MPR No V/2000 tentang Persatuan dan Kesatuan Nasional, negara telah mengakui adanya pelanggaran HAM di masa lalu. Bahkan, poin-poin di dalamnya telah tercakup dalam Pasal 28 UUD 1945 setelah amandemen.

Koalisi Keadilan dan Pengungkapan Kebenaran (KKPK) telah menggulirkan enam pilar yang bisa menjadi tumpuan bagi penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu. Enam pilar tersebut adalah penegakan integritas Indonesia sebagai negara hukum, pengungkapan kebenaran dan pengakuan terhadap kebenaran tersebut, pemulihan martabat dan penghidupan korban, pendidikan dan dialog publik menuju rekonsiliasi, pencegahan keberulangan melalui perbaikan kebijakan dan pembaruan kelembagaan dan partisipasi aktif korban.

Namun menegakkan HAM bukan hanya tugas Pemerintah saja. Peran dan partisipasi masyarakat sangat penting dalam penegakan HAM yang telah diatur dalam UU No. 39 tahun 1999.  Usaha yang dilakukan Komnas HAM  dan pemerintah tidak akan efektif bila tidak ada dukungan dari masyarakat.

Warga mesti menolak dengan tegas setiap terjadinya pelanggaran HAM sebab merupakan pemasungan atas harkat dan martabat manusia. Jangan justru kita yang menjadi pelaku pelanggaran HAM tersebut.  (**)


SHARE:
Tags
komentar
beritaTerbaru