Bank Indonesia mengakui 2015 merupakan tahun yang berat dan penuh tekanan. Kondisi ini berdampak ke dalam negeri, terutama daerah-daerah termasuk Sumatera Utara. Tekanan itu dipicu krisis keuangan di AS, berlanjut ke Yunani dan meluas ke Eropa. Bahkan perekonomian Tiongkok yang selama ini didaya dengan pertumbuhan dua digit, ikut melambat hingga di bawah tujuh persen.
Hal itu berdampak ke Sumut, pada triwulan III 2015 tercatat tumbuh melambat dari 5,13 persen di triwulan sebelumnya menjadi 5,08 persen. Selain karena pelambatan ekonomi global, faktor yang turut mempengaruhi adalah menurunnya harga komoditas dan melemahnya perekonomian domestik. Daya beli masyarakat Sumut masih lemah antara lain tercermin dari nilai tukar petani. Tentu saja ini ada kaitannya dengan harga komoditas yang masih rendah.
Meski begitu, optimisme bahwa Sumut akan lebih baik, tetap ada. Kemarin, BI merilis proyeksi pertumbuhan ekonomi Sumatera Utara pada kisaran 5,1 persen hingga 5,5 persen pada tahun 2016 mendatang. Keyakinan ini ditandai permintaan domestik yang kuat dan kinerja net ekspor yang membaik. Pertumbuhan ekonomi tersebut akan ditopang oleh keseimbangan internal dan eksternal yang tetap terjaga. Sumut sebagai provinsi yang masih bergantung dengan hasil sumber daya alam, maka perbaikan harga komoditas akan menjadi salah satu faktor pendorong yang kuat.
Harga komoditas unggulan yang membaik akan meningkatkan perdagangan luar negeri Sumut. Kinerja ekspor tahun depan akan lebih baik dibandingkan tahun 2015 ini. Selain itu pemberlakuan CPO Supporting Fund serta meningkatkan serapan domestik terkait kebijakan mandatory campuran BBM sebesar 15 persen diyakini akan mendongkrak ekspor. Impor barang antara dan barang modal diprediksi akan berkurang.
Kegiatan investasi di Sumut diperkirakan akan terus meningkat 4-6 persen sejalan dengan kegiatan pembangunan infrastruktur pemerintah yang dibiayai APBN. Rangkaian paket kebijakan pemerintah termasuk berbagai deregulasi yang mendukung iklim investasi seperti percepatan izin satu pintu. Memang pertumbuhan investasi (PMTB) di Sumut pada kuartal III/2015 hanya 4,84 persen. Ini disebabkan minimnya realisasi belanja modal.
Menurut catatan BI, realisasi anggaran Sumut hingga kuartal III/2015 baru mencapai 50 persen dari pagunya. Realisasi belanja pemerintah yang rendah terjadi hampir seluruh jenis belanja, termasuk belanja modal. Akibat rendahnya realisasi belanja modal maka kegiatan investasi yang terbatas. Diharapkan ada langkah taktis dari pemerintah daerah untuk mendorong realisasi anggaran hingga mendekati 100 persen, apalagi bulan ini adalah akhir tahun anggaran 2015.
BI menyarankan pengembangan industri yang memberikan nilai tambah di Sumut perlu lebih ditingkatkan. Daya saing produk unggulan relatif mengalami penurunan di pasar global, kecuali produk tembakau dan alkohol. Potensi industri bernilai tambah sangat besar di Sumut dengan adanya sawit dan karet. Produk turunan sawit dan karet sangat banyak termasuk peluang mengembangkan biodiesel.
Untuk itu diperlukan dukungan yang kuat dari pemerintah, bukan hanya pusat, tetapi juga daerah. Infrastruktur perlu dikembangkan, mulai dari kawasan industri yang terintegrasi dan pelabuhan, hingga infrastruktur jalan yang dapat mendukung perkembangan sektor industri. Infrastruktur fisik perlu diperkuat, tanpa mengabaikan infrastruktur nonfisik berupa pengembangan sumber daya manusia yang dapat memenuhi kebutuhan industri. Penguasan teknologi tinggi mesti mendapat perhatian di masa depan.
Tentu saja diperlukan peran aktif semua pemangku kepentingan di Sumut. Apa yang terjadi tahun ini dan tahun lalu, tak boleh melemahkan semangat untuk membangun daerah ini. Badai pasti berlalu dan tidak selalu mendung itu kelabu. Selalu ada optimisme untuk membangun Sumut yang lebih baik. Jangan biarkan pesimisme membunuh semangat setiap anak Sumut untuk maju dan bergerak mengejar ketertinggalan dari daerah dan negara lain.
(**)