Saat ini dunia sedang harap-harap cemas menunggu keputusan Bank Sentral Amerika Serikat (The Fed) pada 15-6 Desember 2015 yang antara lain akan menentukan naik tidaknya suku bunga acuan (The Fed Rate) di negara Paman Sam tersebut. Sudah 7 tahun suku bunga The Fed berada di kisaran 0 persen.
Spekulasi yang beredar, The Fed kali ini pasti menaikkan suku bunga tanpa peduli laporan mingguan Departemen Tenaga Kerja AS yang mengklaim pengangguran meningkat 13 ribu menjadi 282 ribu, tertinggi sejak Juli 2015.
Jika nantinya bunga The Fed jadi naik, maka dolar AS diyakini kian perkasa hingga tahun depan. Sinyal penguatan dolar ini tertangkap pasca sejumlah bank besar dunia seperti Deutsche Bank, Barclays, Morgan Stanley, BPNP Paribas, Credit Suisse, UBS Group AG dan Goldman Sachs melakukan transaksi memburu dolar hingga 5,3 triliun dolar AS per hari di pasar mata uang. Merujuk Bloomberg Dolar Spot Index, sepanjang tahun ini, dolar AS nyatanya telah menguat 8 persen. Tahun lalu, dolar AS menguat 11 persen.
Demam juga melanda bursa saham di Asia. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok 3,26 persen sepekan terakhir ini.Semua investor masih menunggu apa putusan The Fed. Apabila benar naik, malah dampaknya, dana asing akan kembali ke Amerika Serikat (AS). Ini berarti IHSG akan ikut ambruk ke titik yang tak bisa dibayangkan. Apalagi komposisi investor asing yang menanamkan uang di bursa saham Indonesia sangat besar.
Namun, bila The Fed menahan suku bunga, kepercayaan pasar akan kembali merosot. Pasar akan berhitung ulang karena terlanjur memiliki ekspektasi Fed mengerek suku bunga. Ujungnya, IHSG bisa turun. Ketidakpastian tahun depan menjadi semakin besar. Hal yang sama akan terjadi untuk kurs rupiah. Itu sebabnya banyak menginginkan The Fed menaikkan suku bunga agar mengakhiri ketidakpastian agar pasar jangan tersandera.
Bank Indonesia (BI) mewaspadai rencana kenaikan suku bunga The Fed. Hasil analisa BI, ada potensi besar The Fed akan menaikkan suku bunga. Kenaikan ini diproyeksi akan terjadi secara berkala setiap 3 bulan. Hingga akhir tahun 2016, suku bunga Bank Setral AS diproyeksi 1,125 persen. Jadi pada akhir 2017 bisa jadi 2,265 persen, agar membuat ada satu keseimbangan baru.
BI mengakui akan ada aliran dana asing keluar dari negara berkembang seperti Indonesia karena membaiknya ekonomi AS. Kondisi ini diproyeksi bisa menekan perekonomian Indonesia dalam jangka pendek. Dana yang ada banyak di negara berkembang, ada satu pergerakan mencari aset yang semakin dianggap memberi keamanan. Gerakan ini akan memberi tekanan yang sifatnya sementara bagi Indonesia. Namun sampai kapan akan menekan, tergantung perkembangan pasar dan kekuatan fundamental ekonomi yang dimiliki Indonesia.
BI dan Pemerintah telah mengambil beberapa langkah mengantisipasinya. Dalam jangka waktu dekat, BI disebutkan akan bekerjasama dengan bank sentral negeri jiran untuk menghadapi penyesuaian suku bunga The Fed. Nilai tukar akan tetap dijaga agar mencerminkan kondisi fundamental. Kebijakan makro juga dirancang dan kegiatan utang luar negeri diminta agar dilakukan secara hati-hati.
Beberapa upaya telah dilakukan Indonesia, namun dinilai masih gagal mengerem anjloknya rupiah. Misalnya kewajiban menggunakan rupiah dalam transaksi di dalam negeri. Ternyata, minat pengusaha menukarkan valuta asing (valas) hasil ekspor ke rupiah masih minim. Rata-rata devisa hasil ekspor (DHE) yang dikonversi ke rupiah sejak 2012 hingga September 2015 hanya 11 persen per tahun, selebihnya hanya melaporkan saja ke BI lalu disimpan di bank di luar negeri dalam bentuk valuta asing (valas).
Posisi cadangan devisa Indonesia akhir November 2015 tercatat sebesar 100,2 miliar dolar AS, turun tipis posisi akhir Oktober 2015 sebesar 100,7 miliar dolar AS. Hal itu karena penggunaan devisa dalam rangka stabilisasi nilai tukar rupiah sesuai dengan fundamentalnya. Tentu saja perlu upaya lain mengantisipasi anmbruknya rupiah dan bursa saham. The Fed rate bisa saja berdampak ke dalam negeri, tetapi harus dijaga agar ekonomi Indonesia tetap stabil meski ada guncangan.
(**)