Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan
Selasa, 15 Juli 2025

Hakim Juga Manusia

- Kamis, 17 Desember 2015 10:33 WIB
468 view
Hakim Juga Manusia
Tak seorang pun bisa menyangkal bahwa hakim juga manusia biasa. Namanya manusia biasa, tentu tak ada yang sempurna dan pasti ada saatnya salah serta khilaf. Itu sebabnya sebagai makhluk sosial, hakim sebagai manusia perlu berinteraksi dengan yang lainnya. Bukan hanya sekadar hubungan sosial, tetapi sekaligus memberi dan diberi saran serta sebagai sarana evaluasi untuk dikoreksi dan mengoreksi.

Tentu saja independensi hakim dalam memutuskan suatu perkara hukum tak bisa diintervensi. Tetapi bukan berarti mereka tak perlu mendengar pendapat publik. Bisa saja ada fakta dan informasi baru yang perlu diketahui hakim sehingga apa yang diputuskannya lebih tepat. Apalagi hakim tentu saja bisa membedakan komentar dan pendapat mana yang layak dipertimbangkan, dan mana yang tak perlu didengar.

Saat ini draf Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Tindak Pidana Penyelenggaraan Peradilan dan Penghinaan di Luar Peradilan (Contempt of Court) sudah masuk daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015-2016, dan kini tengah digiring masuk prioritas Prolegnas 2016. Draft RUU usulan Ikatan Hakim Indonesia (Ikahi) ini ada 9 bab dan 49 pasal. Ketua I Ikahi, yang juga juru bicara Mahkam Agung, Suhadi, menyebutkan RUU ini untuk memerkuat aturan hukum yang telah ada dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tanpa mengekang kebebasan.

Ikahi memastikan, perumusan pasal demi pasal di draf RUU itu telah dikaji secara akademis sehingga dapat dipertanggungjawabkan. Terkait ketentuan seperti di Pasal 19 dan Pasal 25 yang berisi larangan untuk mengkritisi putusan hakim dan memublikasikan proses persidangan yang sedang berlanjut, disebutkan hal itu tidak berlaku begitu saja. Menurut versi Ikahi itu adalah bentuk siaran langsung karena di luar negeri sidang disiarkan secara langsung juga tidak diperbolehkan. Masalah mengkritik hakim, selama menggunakan dasar akademis yang tepat, tidak ada masalah. Komentar yang tidak boleh itu adalah caci maki.

Namun menurut mantan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Busyro Muqoddas RUU tersebut berpotensi mengancam media massa, lembaga swadaya masyarakat, hingga kaum akademisi. Padahal, media adalah pilar keempat demokrasi yang bisa mewujudkan pemerintahan bersih dari korupsi. Dalam Pasal 24 RUU itu disebutkan: "Setiap orang yang memublikasikan atau memerkenankan untuk dipublikasikan proses persidangan yang sedang berlangsung, atau perkara yang dalam tahap upaya hukum, yang bertendensi dapat memengaruhi kemerdekaan atau sifat tidak memihak hakim, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun atau pidana denda paling banyak Rp 1 miliar."

Protes lainnya disampaikan Hakim Agung Topane Gayus Lumbuun. Menurutnya, isi draf RUU itu perlu dikaji ulang karena banyak hakim yang tidak sependapat. Isi draf RUU itu tak pernah dibahas bersama Ikahi daerah ataupun cabang khusus Mahkamah Agung (MA) untuk mendapat masukan langsung materi muatan yang cocok bagi pelaksanaan proses peradilan. Publikasi proses persidangan oleh pers justru perlu dilakukan untuk menjaga kehormatan peradilan dan hakim.

Bila dicermati, pasal-pasal dalam RUU tersebut telah memosisikan lembaga pengadilan dan hakim, sebagai maha suci yang tak bisa dikritik dan tak boleh diawasi. Bahkan bila pun proses pengadilan maupun keputusan hakim di luar akal sehat, haram hukumnya untuk dikomentari. Ini tentu akan membunuh daya kritis masyarakat terhadap hukum. Padahal asas pengadilan terbuka sejatinya adalah untuk memudahkan informasi publik. Masyarakat juga punya hak berpendapat atas keputusan pengadilan.

Memang masih panjang jalan untuk mengesahkan RUU ini menjadi UU. Masyarakat, bersama akademisi dan media perlu mengawalnya sejak dini. Paling penting, penyusunan RUU mesti dipastikan tidak menabrak peraturan undang-undang lain. Artinya bisa dipertanyakan apakah RUU ini tidak bertentangan dengan UU Pers, yang menjamin kebebasan menyebarkan informasi serta UU No 14 tahun 2008 tetang Keterbukaan Informasi Publik.

Kita setuju independensi hakim mesti dijaga dan dihormati. Tetapi jangan hanya karena keinginan melindungi hakim, maka hak publik menjadi diabaikan. Bagaimanapun publik memiliki hak untuk merespons apa yang terjadi di ruang pengadilan. Sebab di pengadilan banyak harapan pencari keadilan yang perlu dijaga. Suara mereka perlu didengar meski tidak harus menjadi penentu putusan hakim.(**)

SHARE:
Tags
komentar
beritaTerbaru