Tahun ini menjadi fenomenal dalam dunia birokrasi Indonesia. Ada dua pejabat publik menyatakan mundur dari jabatannya secara sukarela. Satu Dirjen Pajak dan satu lagi Dirjen Perhubungan Darat. Keduanya merasa tidak layak melanjutkan amanah sebagai pejabat karena menganggap dirinya telah gagal.
Dirjen Pajak mundur karena tidak berhasil mencapai target yang telah ditentukan. Padahal, pemerintah berharap banyak pendapatan dari sektor pajak untuk menopang keuangan negara. Berbagai upaya telah ditempuh, antara lain penyanderaan terhadap penunggak pajak skala besar. Namun, target penerimaan pajak masih jauh panggang dari api.
Sebenarnya bukan kali ini saja penerimaan pajak meleset dari target. Ada banyak faktor yang mempengaruhinya, apalagi ini masih Tahun Pembinaan Pajak. NamunĀ Dirjen Pajak era Pemerintahan Jokowi ini memang berbeda dari pejabat sebelumnya. Dia merasa itu tanggung jawabnya dan memilih mundur untuk memberi kesempatan bagi orang lain.
Lalu Dirjen Perhubungan Darat mundur karena kemacetan mudik Natal. Setiap momen hari besar seperti Lebaran, Natal, dan Tahun Baru selalu diwarnai mudik besar-besaran dari kota ke desa. Artinya kemacetan selalu menjadi langganan setiap mudik. Selain karena kapasitas jalan yang terbatas, juga karena volume kendaraan yang terus bertambah.
Pihak yang menangani arus mudik bukan hanya Kementerian Perhubungan. Ada koordinasi lintas instansi di sana. Namun, Dirjen Perhubungan Darat memikul beban tersebut. Secara mengejutkan dia menyatakan mundur, kendati macet sudah dianggap biasa dan desakan mundur belum bergulir.
Budaya mundur di Indonesia masih barang langka. Banyak pejabat publik yang jelas-jelas bermasalah kinerjanya, tak mau mundur. Setelah diberhentikan, barulah yang bersangkutan mundur dari jabatannya. Kesadaran untuk bertanggung jawab secara penuh atas pekerjaannya, masih sangat rendah. Tak sedikit bermuka tembok dan cari dukungan politik, meski kinerjanya buruk.
Berbeda dengan di Korea Selatan, tradisi mundur bagi pejabat publik sudah mendarah daging. Jika ada kesalahan atau kecelakaan, maka pejabat publik yang bertanggung jawab segera minta maaf dan mundur dari posisinya. Bahkan di Jepang, tak hanya mundur, ada yang melakukan harakiri atau bunuh diri karena merasa malu telah gagal.
Kebiasaan bunuh diri tentu saja tak patut ditiru di Indonesia sebagai bangsa yang beragama. Tetapi tradisi mundur dari jabatan sebagai wujud tanggung jawab atas kegagalannya, perlu ditanamkan dalam setiap pejabat publik. Meski harus diakui ada yang kurang setuju atas usulan ini. Mundur dari jabatan saat kinerja buruk, bukanlah hal memalukan, tetapi sebagai akuntabilitas terhadap amanah publik.
Diharapkan pejabat publik yang lain bisa mengikuti jejak Dirjen Pajak dan Dirjen Perhubungan Darat, apabila memang gagal dalam tugas. Tentu saja akan berdampak terhadap makin selektifnya perekrutan pejabat publik. Diharapkan ke depan para pengemban amanah masyarakat akan makin profesional dalam menjalankan tugasnya.
(**)