Hak kepemilikan senjata api memiliki sejarah panjang di Amerika Serikat dan dijamin dalam UU. Kontroversi kepemilikan senjata api semakin tajam dimulai tahun 1986 dan berlanjut hingga sekarang yang dipicu oleh berbagai tragedi penembakan. Berdasarkan catatan, setiap tahun sekitar 30.000 nyawa melayang akibat senjata di AS. Kendati angka kekerasan bersenjata atau insiden penembakan tinggi, sebagian besar kematian yang melibatkan senjata disebabkan bunuh diri. Tak bisa dipungkiri kasus penembakan di tempat umum makin kerap terjadi.
Diperkirakan ada sekitar 300 juta senjata api yang beredar di negara itu atau berarti hampir setiap orang dari 322 juta warga Amerika memiliki senjata api. Namun kepemilikan ini terpusat hanya pada sepertiga warga Amerika di mana salah seorang anggota keluarga memiliki senjata api. Senjata api dijual di ribuan toko di Amerika, dari toko-toko kecil hingga jaringan raksasa seperti Walmart, penjual senjata api terbesar di Amerika. Ada lebih dari 54 ribu penjual senjata api yang terdaftar secara resmi di Amerika, 7.800 toko pegadaian dan 2.000 hingga 5.000 pameran senjata api setiap tahun.
Hasil penelitian menunjukkan telah terdapat perbedaan besar antara fungsi, makna dan penggunaan senjata api di abad awal pembentukan Amerika dengan masa kini. Hal itu dipengaruhi berbagai perbedaan latar belakang budaya, politik dan kondisi sosial masyarakatnya. Senjata api yang dulunya diagungkan sebagai simbol superioritas bangsa kini dianggap menjadi produk budaya kekerasan dan bagian dari penyakit sosial karena berbagai akibat fatal yang ditimbulkan oleh penyalahgunaan senjata api.
Akar permasalahan kekerasan senjata api berasal dari berbagai isu sosial yang melatarbelakangi, yakni tingginya angka kekerasan pemuda, segregasi dan rasisme, kesehatan masyarakat, pembudayaan senjata api, dan diperparah dengan kemudahan akses senjata api. Terorisme global yang ikut mengincar Amerika Serikat dikhawatirkan akan memanfaatkan kebebasan mendapatkan senjata api untuk beraksi di negeri Paman Sam tersebut. Indikasinya sudah nyata meski belum ada bukti konkret yang mengaitkan ISIS dengan aksi penembakan menggunakan senjata api di sana.
Gedung Putih beberapa waktu lalu mengumumkan sejumlah langkah yang memperketat pengendalian senjata di Amerika Serikat, tanpa persetujuan kongres terlebih dahulu. Langkah ini mengharuskan para penjual senjata untuk memiliki lisensi, sementara para pembeli senjata harus menjalani pemeriksaan latar belakang. Biro Alkohol, Tembakau, Senjata Api dan Bahan Peledak AS (ATF) sedang menggodok aturan yang mewajibkan pemeriksaan latar belakang untuk pembelian senjata berbahaya dari sebuah lembaga, perusahaan atau badan hukum lainnya.
Presiden Barack Obama menggunakan hak eksekutifnya untuk memperketat aturan kepemilikan senjata sebab tidak kunjung mendapat dukungan dari Kongres terkait rencana mengamandemen Undang-Undang (UU) Senjata karena kuatnya tekanan pemasok senjata. Padahal, kekerasan bersenjata terus meningkat. Dia berdalih pengetatan akan muncul dalam bentuk kebijakan eksekutif, sehingga tidak perlu berunding dengan Kongres. Pengetatan dilakukan sejak dari tahap transaksi senjata. Di antaranya adalah mendata para penjual senjata dan memastikan bahwa transaksi hanya terjadi antara penjual senjata dan konsumen atau penggunanya langsung.
Pentagon diharuskan bekerja keras dan memastikan bahwa senjata yang diperjualbelikan itu hanya yang menerapkan teknologi senjata aman. Sebab Kementerian Pertahanan AS itu memiliki sangat banyak koneksi, baik pihak penjual maupun pembeli senjata. Obama mengakui kebijakannya memang bukan solusi dari segala bentuk kejahatan di Amerika Serikat. Bukan pula sesuatu yang mampu meredam atau meniadakan aksi kejahatan bersenjata. Dia meyakini pengetatan senjata api tersebut akan menyelamatkan nyawa banyak orang dan mencegah rasa sakit akibat kehilangan sanak saudara maupun keluarga.
Peraturan baru ini akan ditentang luas oleh kelompok-kelompok hak kepemilikan senjata api dan para kandidat presiden Partai Republik, yang bisa langsung mengubah peraturan itu begitu mereka terpilih menjadi presiden dalam pemilu November nanti. Mereka mengatakan sejumlah penembakan massal di Amerika tidak akan bisa dicegah oleh peraturan baru yang menimbulkan ketidaknyamanan bagi pembeli senjata secara legal. Semoga tidak asal tolak, tetapi ada solusi atas peningkatan kasus kekerasan bersenjata di sana.
Bagaimana dengan Indonesia, yang aturan kepemilikan senjata api sangat ketat, tetapi tingkat kekerasan menggunakan senjata api sangat tinggi? Apa yang salah? Aturannya atau aparat yang mengawasinya yang bermasalah? Kita berharap pemerintah Indonesia mau belajar dari apa yang terjadi di Amerika Serikat. Untuk membuat aturan yang memperketat saja sangat sulit, tetapi mereka tidak putus asa untuk selalu berupaya memberi keamanan yang terbaik bagi warganya. Indonesia sudah memiliki aturan yang ketat, diharapkan pengawasan makin bagus agar kekerasan menggunakan senjata api makin minimal! (**)