Polri mengeluarkan aturan baru yakni penggolongan SIM C (untuk sepedamotor) menjadi tiga berdasarkan kapasitas silinder motor. Tiga golongan SIM C tersebut adalah SIM C untuk sepedamotor berkapasitas mesin kurang dari 250 CC, SIM C1 untuk sepedamotor berkapasitas 250-500 CC, dan SIM C2 untuk sepedamotor berkapasitas mesin 500 CC ke atas. Aturan ini mulai berlaku Mei 2016 mendatang dan penggantian SIM C dengan golongan baru akan dimulai serentak Februari - April 2016.
Alasan polisi mengubah penggolongan SIM C tersebut adalah untuk menekan angka kecelakaan. Memang, setiap kendaraan memiliki karakteristik berbeda. Semakin besar kapasitas mesinnya, berarti tingkat kesulitannya semakin tinggi dan membuat peluang seseorang menjadi celaka ketika berkendara pun bertambah. Setiap pengendara harus memahami dan menguasai kendaraan yang dipakai sesuai dengan kapasitasnya.
Namun, banyak pihak berpendapat, lisensi mengemudi bukan faktor utama dalam kecelakaan sepedamotor. Pembangunan budaya disiplin dan tertib pengendara motor dalam berkendara dinilai lebih penting dalam menciptakan keamanan dan keselamatan berlalu-lintas. Sebab sikap dan mental merupakan akar masalah ketidaktertiban dan kecelakaan lalu lintas.
Selama ini SIM dianggap hanya syarat formal dan tidak berkorelasi dengan perilaku pengendara. Mereka yang telah memiliki SIM ternyata memiliki perilaku sembrono saat berkendara. Selain tidak tertib, ugal-ugalan dan secara sadar atau tidak melanggar aturan dan hak pengguna jalan lain. Artinya, mengubah golongan SIM C tidak memadai untuk memperbaiki perilaku. Mesti ada pendidikan secara formal dan informal, sejak dini untuk menanamkan kesadaran dalam berkendara.
Membangun budaya tertib lalu lintas memang bukan hal mudah. Sebaiknya dimulai dari keluarga dan lingkungan sekolah. Selain itu penegakan hukum harus dilakukan dengan sebenar-benarnya. Jangan ada pilih kasih dalam memberikan sanksi dan harus selektif menerbitkan SIM.
Indonesian Police Watch (IPW) menilai pengurusan SIM dan perpanjangannya masih belum bersih dari praktek percaloan. Masih banyak yang mengurus SIM dari pintu belakang, meski sudah ada aturan yang tegas melarangnya.
Pendidikan tentang keselamatan berkendara seharusnya dimulai dari usia SD, kemudian berlanjut ke SMP, dan SMA sampai akhirnya bisa mendapatkan izin mengendarai kendaraan dari pemerintah. Kompetensi membawa sepedamotor tidak memandang latar belakang pendidikan. Tetapi terletak pada kemampuan kognitif (persepi), dan assertive (kemampuan berkomunikasi efektif). Sebab itu jika ingin membuat SIM seharusnya ikut kursus dulu, sesuai dengan besar kapasitas kendaraan yang akan digunakannya.
Produsen dan penjual sepedamotor kapasitas besar sebaiknya diberi tanggung jawab. Setiap pembeli sepedamotor kapasitas besar mesti mendapat pelatihan dan sertifikasi bagaimana mengendarainya dengan benar. Pemerintah cukup mengatur bagaimana regulasinya saat digunakan di jalan. Jika Polri yang menilai kemampuan seseorang layak mengendarai sepedamotor sesuai kapasitasnya akan sangat mahal biayanya sebab infrastruktur perlu disiapkan.
IPW berpendapat aturan baru tentang penggolongan SIM C ini tidak memiliki dasar hukum yang kuat. Aturan SIM ini sudah jelas diatur dalam UU Lalu Lintas dan Aturan Jalan dan di sana tidak ada tertulis penggolongan SIM C. Jika memang ingin ada perubahan, maka Polri sebaiknya mengajukan revisi UU dulu baru membuat kebijakan baru. Polri diharapkan menunda dan lebih menunggu revisi UU-nya terlebih dahulu di DPR RI.
Kita mendukung setiap upaya meningkatkan keselamatan dan ketertiban di jalan raya. Polri diharapkan mengambil tindakan yang komprehensif berdasarkan kajian ilmiah dan tidak membuat putusan yang sifatnya parsial. Persoalan lalu lintas memang tidak sederhana dan banyak pihak yang terlibat. Payung hukumnya tak boleh diabaikan, jika memang harus merevisi UU terlebih dahulu, tidak apa-apa bersabar menunggu. Sebab aturan yang ada pun sebenarnya masih memadai, asal diikuti penegakan hukum yang tegas dan konsisten.
(**)