Perminyakan dunia sedang dirundung masalah. Kali ini bukan karena pertikaian Iran dan Arab SaudiĀ belum usai, meski kedua negara merupakan produsen papan atas minyak dunia. Persoalannya adalah anjloknya harga minyak dunia ke level 30 dolar AS per barel, bahkan di bawahnya.
Harga ini merupakan tingkat terendahnya dalam 12 tahun terakhir. Penurunan harga minyak sudah hampir 20 persen sejak awal tahun ini. Sementara sejak tingkat tertingginya di atas 100 dolar AS per barel pada Juni 2014, harga minyak dunia saat ini sudah turun sekitar 70 persen. Analis memperkirakan kejatuhan harga minyak dunia bisa ke level 20 dolat AS per barel.
Ada dua penyebab utama anjloknya harga minyak dunia tersebut. Pertama, melimpahnya pasokan di pasaran. Irak selaku produsen minyak nomor dua di Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC), berencana mengekspor minyak 3,63 juta barel per hari dari wilayah Selatan pada Februari. Ini akan tertinggi sepanjang sejarah. Pantas saja pasokan berlebih di pasar minyak dunia.
Kedua, menurunnya permintaan minyak dunia. Tiongkok sebagai konsumen papan atas ternyata mengurangi permintaannya. Memang ekonomi negara Tirai Bambu tersebut sedang tertekan karena pelemahan mata uang Yuan. Meski pertumbuhan ekonominya masih stabil, tetap saja ada pelambatan sehingga berpengaruh terhadap permintaan minyak dunia.
Bagi Indonesia, anjloknya minyak dunia menimbulkan dampak yang dilematis. Satu sisi, sebagai importir minyak dunia, tentu saja asumsi harga minyak di APBN akan turun dan harga jual BBM akan terkoreksi. Artinya, konsumen akan menikmati harga premium dan solar yang lebih rendah dari sebelumnya.
Tentu saja ini kabar gembira, subsidi akan hapus dengan sendirinya. Dananya bisa digunakan untuk pembangunan sektor lain. Biaya membeli minyak dunia jauh lebih hemat sehingga beban APBN akan berkurang. Rakyat berkurang pengeluarannya untuk membeli BBM. Era BBM murah akan kembali dengan sendirinya tanpa subsidi.
Di sisi lain, ini kabar buruk bagi dunia perminyakan Indonesia. Banyak putra-putri Indonesia yang bekerja di perusahaan minyak yang akhirnya mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK). Selain itu, anjloknya harga minyak membuat para lulusan universitas asal Indonesia sulit mencari kerja di perusahaan minyak. Catatan Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia (IATMI), beberapa perusahaan sudah melakukan layoff alias pemutusan hubungan kerja (PHK).
Memang Pertamina tidak melakukan PHK. BUMN sektor migas ini mengantisipasi dampak penurunan harga minyak itu dengan memajukan usia pensiun, dari 58 tahun ke 55 tahun. Tentu saja ini menambah masalah bagi ekonomi nasional, meski yang dipensiunkan bukan golongan pengangguran.
Kita berharap ada keseimbangan baru harga minyak dunia. Terlalu jatuh juga tak baik bagi ekonomi dunia. Anggota OPEC sebaiknya menyingkirkan ego masing-masing. Saatnya bersatu menyelamatkan perminyakan dunia
.(**)