PDIP melontarkan gagasan menghidupkan kembali kewenangan MPR menyusun Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Tentu saja keinginan ini bukanlah hal mudah diwujudkan. Sebab sejak jatuhnya Soeharto, Indonesia tak lagi mengenal GBHN karena kewenangan MPR sudah diubah melalui amandemen UUD 1945. Jadi logikanya, untuk mengembalikannya harus melalui proses amandemen konstitusi juga.
Pada masa Orde Baru (Orba), pembangunan Indonesia dipandu GBHN yang diberlakukan dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Tap MPR). Sejak 1 April 1969 hingga 21 Mei 1998, tidak kurang dari enam Tap MPR tentang GBHN. Di level provinsi dan kabupaten kota, dokumen GBHN ini diterjemahkan ke dalam dokumen Pola Dasar Pembangunan Daerah (Poldasbangda). Dokumen GBHN terakhir yang berlaku di Indonesia disahkan dengan Tap MPR No. IV/MPR/1999 tentang GBHN 1999-2004.
Tidak berlakunya GBHN, di samping disebabkan trauma kolektif terhadap hal-hal yang berbau pemerintahan Orba pada saat itu, yang lebih prinsip disebabkan terjadinya amandemen UUD 1945 sebanyak 4 kali. Amandemen Pertama disahkan pada 19 Oktober 1999, Amandemen Kedua disahkan pada 18 Agustus 2000 dan Amandemen Ketiga disahkan pada 10 November 2001. Pada Amandemen Keempat yang disahkan pada 10 Agustus 2002, pasal 3 ayat (1) UUD 1945 yang semula berbunyi "MPR berwenang menetapkan UUD dan garis-garis besar pada haluan negara" diubah menjadi "MPR berwenang mengubah dan menetapkan UUD".
Saat ini, dokumen yang menggantikan GBHN adalah dokumen Rencana Pembanganan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025 yang ditetapkan dengan UU No. 17/2007. Lalu diturunkan ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) dan dokumen rencana pembangunan tahunan yang disebut Rencana Kerja Pemerintah (RKP). Ini yang menjadi dasar penetapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Kini wacana menghidupkan GBHN bergulir kembali setelah Rapat Kerja Nasional I PDI Perjuangan menghasilkan keputusan menghidupkan kembali Garis Besar Haluan Negara (GBHN) melalui program pembangunan nasional semesta berencana. Gagasan ini akan diimplementasikan dengan mengamandemen Undang-Undang Dasar 1945 secara terbatas. Amandemen UUD 1945 yang diajukan PDI-P hanya pada pasal yang berkaitan dengan kembalinya kewenangan MPR menetapkan haluan negara. Jadi, tidak akan ada pihak-pihak yang mengambil kesempatan untuk merevisi pasal lain.
Tidak semua pihak setuju GBHN dihidupkan kembali. Bagi yang kontra, sebenarnya mendukung upaya menghidupkan GBHN hanya untuk prinsip-prinsip umum pembangunan bangsa tidak masalah. Namun kalau memuat perencanaan yang rigid dan detail maka upaya menghidupkan kembali tersebut dinilai tidak tepat. Model itu akan membelenggu pemerintahan berikutnya yang tidak terlibat dalam penyusunan GBHN. Padahal situasi sangat dinamis, pemerintah baru jadi sulit berimprovisasi.
Selain itu, banyak pihak menyangsikan proses amandemen itu akan sesederhana yang direncanakan PDIP pada pasal tertentu saja. Siapa yang menjamin tidak akan melebar ke mana-mana. Banyak pihak menunggu momen amandemen konstitusi sebagai kesempatan untuk kembali ke era Orba atau mengubah aturan seperti Pilkada dan lain-lain.
Tarik menarik kepentingan antar partai politik pasti berlangsung. Proses transaksi akan terbuka lebar, yang bisa menghasilkan kompromi yang berbeda dari yang diinginkan sebelumnya. Koalisi partai masih sangat cair, tak jelas mana pendukung pemerintah dan mana yang oposisi. Seketika konfigurasi bisa berubah, tergantung akomodasi kepentingan partainya.
Rencana amandemen mesti dikalkulasi dengan cermat. Perlu ada kajian mendalam, mana lebih besar manfaat dari bencana yang disebabkan. Meski amandemen bukan hal tabu, sebaiknya jangan terlalu mudah dilakukan. Jika masih ada cara lain untuk menghidupkan GBHN, sebaiknya dicarikan solusi tanpa mengutak-atik konstitusi. (**)