Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan
Selasa, 15 Juli 2025

Upaya Memperkuat Negara Hadapi Terorisme

- Rabu, 20 Januari 2016 09:54 WIB
450 view
Upaya Memperkuat Negara Hadapi Terorisme
Presiden Joko Widodo mengajak pimpinan berbagai lembaga tinggi negara untuk mengkaji ulang undang-undang terorisme. UU Nomor 15 tahun 2003 tentang pemberantasan terorisme dan UU Nomor 9 tahun 2013 tentang pencegahan dan pemberantasan terorisme. Revisi undang-undang ditawarkan karena keefektifannya dalam mencegah aksi terorisme masih dipertanyakan .

Sekretaris Kabinet Pramono Anung menyebutkan serangan teroris di jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, pada Kamis (14/1) lalu sebagai indikasi kelemahan undang-undang yang telah ada. Jauh-jauh hari sebenarnya, serangan itu sudah dideteksi. Namun, karena payung hukum yang ada, maka 19 orang yang  diduga akan beraksi tak bisa ditangkap. Penangkapan sekitar 12 orang terkait aksi teror di Jalan MH Thamrin, baru dilakukan setelah aksi terjadi.

UU Terorisme memang tidak mengatur pasal yang dapat menjerat pelaku penyebar kebencian.  UU tersebut lebih bersifat reaktif atau hanya diberlakukan setelah kejadian teror. Berdasarkan catatan kepolisian pada November 2015 lalu, terdapat 384 warga negara Indonesia yang sudah terkonfirmasi bergabung dengan ISIS di Irak dan Suriah. Sebanyak 46 di antara mereka sudah kembali ke Indonesia.

Di sisi lain, ada kekhawatiran apabila UU Terorisme yang direvisi bisa membenarkan aksi aparat dalam penangkapan pengkritik pemerintah, seperti dilakukan Pemerintah Malaysia melalui Internal Security Act. Tentu saja ini bukan tak mungkin terjadi. Indonesia pernah mengalami masa kelam tersebut pada Orde Baru. Dengan alasan menganggu stabilitas, seseorang bisa ditangkap dan ditahan dengan alasan subversif.

Bangsa ini masih trauma dengan kekuasaan tanpa batas yang dimiliki aparat untuk menahan seseorang karena kecurigaan. Legislatif dan eksekutif harus berfokus membuat revisi undang-undang yang bisa memburu teroris tanpa melanggar hak asasi manusia. Tentu ini bukan hal mudah, dan perlu kerja keras bagaimana memilahnya. Penangkapan dan penahanan tidak masalah asal akuntabel dan tidak melanggar hukum.

Sikap ini antara lain diungkapkan Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Din Syamsuddin  yang mengaku tidak keberatan bila Pemerintah berencana merevisi Undang-Undang (UU) Terorisme. Hanya poin-poin yang hendak direvisi harus tetap menjamin hak-hak asasi masyarakat, mencakup kebebasan berserikat dan menyatakan pendapat. Semua produk hukum atau perundang-undangan memang terbuka untuk disempurnakan, sejalan dengan kebutuhan dan tuntutan keadaan.

Namun, dalam menangani kasus terorisme, penindakan atas nama hukum tidak akan efektif. Delegasi Parlemen Indonesia dalam sidang Asia Pacific Parliamentary Forum (APPF) ke-24, di Vancouver, Kanada, meminta Pemerintah mesti membuat peraturan yang tak hanya mendorong penindakan hukum bagi para pelaku terorisme. Demi mencapai dunia yang damai dari teror, dibutuhkan juga aturan-aturan yang mempromosikan keadilan sosial, deradikaliasi, dan demokratisasi.

Aset terbesar dalam melawan terorisme adalah sistem demokrasi, yang menyediakan ruang bagi masyarakat mengekspresikan aspirasinya. Diperlukan juga penguatan pada dialog yang terbuka diantara komunitas di masyarakat, sehingga tak ada yang merasa dipinggirkan dan tak didengarkan. Hal itu berpotensi subur dihinggapi potensi terkena radikalisasi. Di sisi lain, demokrasi juga menyediakan peluang bagi Pemerintah dan Parlemen Indonesia untuk membuat sejumlah aturan yang mencegah dan menindak terorisme.

Kita mendukung upaya memperkuat negara dalam menghadapi terorisme. Hanya perlu bijaksana dan hati-hati, agar jangan kembali ke masa lalu, di mana negara menjadi otoriter terhadap warganya dengan mengatasnamakan stabilitas nasional. Negara memang harus keras dan tak boleh terhadap terorisme, tetapi revisi UU yang akan dibahas, tetap menjamin hak asasi warganya.(**)

SHARE:
Tags
komentar
beritaTerbaru