Daftar negatif investasi (DNI) akan segera direvisi. Pemerintah berencana membuka dua industri yang sebelumnya tertutup untuk asing, yakni industri pariwisata dan kreatif. Untuk industri kreatif, disepakati mengundang industri perfilman bagi asing untuk masuk ke Indonesia.
Bukan sekadar masuk sebagai modal asing yang mesti bekerja sama dengan pemodal lokal. Lebih ekstrim, pemerintah akan mengizinkan 100 persen bagi investor asing yang tertarik masuk ke sektor perfilman Indonesia. Artinya ke depan, produser asing dari Hollywood Hongkong dan Bollywood bisa membuat film di Indonesia dengan leluasa tanpa harus memiliki pesaham lokal.
IndustriĀ film terbuka 100 persen untuk asing mulai dari jasa teknik film, pembuatan film, distribusi film, hingga pertunjukan film atau bioskop. Selama ini, dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 39 Tahun 2014 tentang Daftar Negatif Investasi, besaran investasi asing di jasa teknik film berupa studio pengambilan gambar film, laboratorium pengolahan film, sarana pengisian suara, dan sarana pencetakan dan atau penggandaan film, dibatasi maksimal hanya sebesar 49 persen.
Dalam aturan lama, untuk jasa teknik film berupa sarana pengambilan gambar, sarana penyuntingan film, dan sarana pemberian teks film, tidak dibuka sama sekali bagi investasi asing. Begitu juga pembuatan film, distribusi film, dan bioskop tidak dibuka sama sekali bagi investasi asing. Tentu saja, bioskop asing bukan barang langka nantinya di Indonesia.
Lalu bagaimana dengan bioskop lokal yang terlebih dahulu eksis Apakah kebijakan baru ini akan mematikan industri bioskop dalam negeri? Untuk mengantisipasinya, pemerintah berjanji mengatur ketentuan mengenai jarak pembukaan bioskop di suatu daerah agar tidak berdekatan dengan bioskop yang telah ada di daerah tersebut, termasuk bioskop lokal.
Ini mengingatkan kita dengan maraknya swalayan waralaba bermodal besar hingga desa-desa, akibatnya banyak toko bahkan kedai rakyat lokal yang terbunuh. Meski ada aturan tentang jarak, tetap saja gerai baru tak memerhitungkan dampaknya pada usaha kecilĀ masyarakat lokal. Apakah hal serupa bakal terjadi dalam dunia perbioskopan di Indonesia, tentu tergantung ketegasan terhadap aturan yang dibuat pemerintah sendiri.
Selain mengatur kebijakan bagi investor yang akan berinvestasi di industri ini, pemerintah juga akan memberikan insentif, antara lain, insentif pajak. Misalnya, memberikan keringanan pajak bagi orang asing yang tengah memproduksi film di Indonesia. Harapan pemerintah, akan ada kegairahan produksi film dari investor asing untuk bermitra yang kemudian terjadi transfer teknologi dan pengetahuan.
Tentu saja ini masih hipotesa bahwa kebijakan baru ini akan memacu industri perfilman Indonesia. Perlu upaya lebih serius dari sekadar mengundang asing 100 persen. Pendidikan perfilman mesti diperbanyak baik, kualitas, maupun kuantitas. Ini untuk memersiapkan SDM lokal menghadapi kompetisi global.
Edukasi pasar tentang film nasional tak bisa diabaikan. Jika tidak, Indonesia hanya bakal jadi pasar, dan tak akan menjadi produser film kelas dunia. Kita tidak anti asing, silakan masuk Indonesia, tetapi harus dipastikan membawa dampak positif bagi industri lokal.
(**)