Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan
Selasa, 15 Juli 2025

Pemberantasan Kartel Pangan di Indonesia

- Kamis, 28 Januari 2016 11:08 WIB
417 view
Pemberantasan Kartel Pangan di Indonesia
Kartel pangan masih menjadi fokus Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) pada 2016 ini. Mereka secara khusus memperhatikan komoditas beras, daging dan ayam potong. Berbagai upaya sudah dilakukan, antara lain memperkarakan perusahaan penggemuk sapi yang diduga melakukan kartel dan pengawasan di 11 provinsi termasuk Sumut yang merupakan sentra produksi beras nasional. 

Ada dugaan telah terjadi praktik monopolistik dan oligopolistik yang sudah terjadi di perdagangan beras. Pengusaha besar diduga mulai masuk ke dalam industri beras dengan menguasai pembelian dari petani, mengolahnya dan mendistribusikan ke konsumen melalui kelompok tertentu atau sendiri. Penyalahgunaan oligopoli dalam bentuk kelangkaan dan harga tinggi tampaknya masih terjadi di pasar.

Ini tentu merugikan rakyat banyak, saat dibutuhkan, barang justru menghilang dari pasar. Kalaupun ada dijual dengan harga yang mahal. Situasi ini malah terjadi saat momen penting menjelang Lebaran, Natal dan Tahun Baru. Padahal bahan pangan tidak boleh tidak harus ada, sebab memang dari dulunya merupakan kebutuhan primer.

Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menilai kartel pangan di Indonesia terjadi karena tata niaga pangan strategis dilempar ke mekanisme pasar sehingga para pebisnis dengan modal besar menguasai pasar, dan mengganggu tata niaga pangan. Kemunculan kartel dalam tata niaga pangan juga muncul akibat kegagalan pemerintah mengembangkan sektor pertanian menjadi industri yang berdaya saing. Selain itu, pengikisan peran Bulog dalam mengelola pangan strategis pun menjadi penyebab munculnya kartel di perdagangan pangan Indonesia.

Sektor pertanian dinilai tidak menjadi industri yang menarik lagi. Akibatnya, tidak hanya produktivitas petani yang menurun. Petani juga kian tersudut, ini terlihat dari ketergantungan modal petani kepada pengepul (perantara). Pengepul membeli produk dari petani dengan harga yang murah. Ini membuat disparitas harga yang tinggi antara di tingkat petani dan konsumen.

Pemerintah tentu tak boleh diam saja terhadap berbagai modus kartel pangan di Indonesia. Penetapan harga pembelian gabah dan beras petani di Bulog harus dirubah. Faktanya selama ini harganya selalu di bawah harga pasar yang membuat Bulog akhirnya tidak bisa membeli beras petani. Persaingan usaha bidang pangan mesti diawasi ketat untuk melindungi masyarakat. Konsumen harus bisa mendapatkan harga bahan pangan wajar bahkan murah.

Pemerintah mesti memberikan kewenangan lebih kepada Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) untuk memberantas persoalan kartel tersebut. Dengan adanya penguatan kewenangan yang dimiliki KPPU  akan mengurangi praktik-praktik kartelisasi. Sebab kewenangan yang dimiliki KPPU saat ini sangatlah terbatas dimana dalam upaya untuk membuktikan terjadinya diharuskan adanya dua alat bukti yang cukup serta adanya waktu yang panjang yakni selama tiga tahun berturut-turut kepada KPPU dalam melakukan penyelidikan.

Untuk membongkar kartel, sebaiknya ada penghargaan bagi para pelapor untuk diberikan insentif dan pengampunan. Dengan demikian, masyarakat dunia usaha akan semangat memberi informasi tentang permainan kartel. Banyak yang enggan melapor karena merasa tidak mendapat keuntungan apa-apa, atau malah dirugikan dari segi waktu dan materi. Selain itu, hukuman bagi pelaku kejahatan pangan harus lebih tegas dan berat agar memberi efek jera.

Koordinasi antar lembaga yang menangani pangan dari hulu ke hilir mesti ditingkatkan. Ini bukan hanya tugas KPPU untuk mengawasi kartel pangan. 

Diharapkan Menko Perekonomian lebih proaktif menyinergikan kementerian dan lembaga yang berada di bawahnya. Termasuk pelibatan aparat hukum, yakni polisi, jaksa dan hakim, supaya semua satu persepsi dalam mengikis kartel pangan.(**)

SHARE:
Tags
komentar
beritaTerbaru