Meski kelihatannya masuk akal, keputusan Ford Motor Indonesia (FMI) untuk menghentikan semua operasinya di Indonesia pada paruh kedua tahun ini, masih menimbulkan tanda tanya. Benarkah alasannya karena pertimbangan bisnis semata? Apakah ada kaitannya dengan tarik menarik kepentingan tentang tambang Freeport? Tentu saja ini menarik dikaji dan diharapkan ada jawaban jujur dari pihak FMI.
Sebab yang mengalami masalah mengenai penjualan bukan hanya FMI. Ada banyak bisnis multinasional yang merugi di berbagai belahan dunia. Namun opsinya tidak sampai menutup operasional dan hengkang. Mereka masih bertahan, meski harus memangkas karyawan, merumahkan dan berbagai tindakan efisiensi lainnya. Ford, walau penjualannya menurun, sudah sejak lama memiliki penggemar khusus di negeri ini, dan brand-nya sangat kuat sebagai produk Amerika yang dijual di Indonesia.
Belakangan memang isu Freeport Indonesia mengemuka, yang akhirnya memaksa Setya Novanto mundur dari jabatannya dan pimpinan tertinggi usaha tambang asal Amerika tersebut mengundurkan diri. Ada dorongan kuat dari dalam negeri yang menginginkan tambang emas tersebut dinasionalisasi saja. Meski bukan hal mudah, isu tersebut berpotensi menganggu hubungan Indonesia dan Amerika Serikat, bukan hanya G to G (Government to government, pemerintah dengan pemerintah), tetapi juga B to B (business to business, pengusaha dengan pengusaha).
Bisa jadi ada kekhawatiran tentang nasib bisnis Amerika di Indonesia akan mengalami hal yang sama dengan Freeport. Selalu digoyang, dipolitisir dan dituduh sebagai antek neokolim. Jika ini benar, bukan mustahil, ke depan yang hengkang bukan hanya FMI, tetapi bisnis besar AS lainnya di Indonesia. Pemerintah Amerika, meski tidak mencampuri secara langsung sepak terjang perusahaan milik warganya, mereka dikenal protektif dan sensitif manakala kepentingannya terganggu.
Tetap saja hubungan AS - RI bisa terkena imbasnya. Sebagai negara adidaya, kepentingan Indonesia di dunia internasional bisa terganggu. Ekspektasi pasar dan minat investor asing bisa terganggu. Apalagi misalnya, ada pernyataan Indonesia bukan negara yang aman untuk berinvestasi. Jika ini terjadi, Indonesia sangat dirugikan, meski belum bisa dikalkulasi bentuknya.
Alasan menutup dealership FMI dan menghentikan penjualan dan impor resmi semua kendaraan Ford adalah karena merugi. Pengakuan pejabat Kemenperin mengaku, manajemen FMI mengeluhkan sulitnya bersaing dalam pasar otomotif Indonesia yang didominasi pabrikan asal Jepang. Dalam laporan FMI, disebutkan penutupan operasi di Indonesia merupakan bagian dari strategi restrukturisasi besar-besaran yang dilakukan Ford Motor Co selaku perusahaan induk. Sudah sangat jelas bagi Ford, bahwa tidak ada potensi untuk memeroleh keuntungan yang berkesinambungan dari operasinya di Indonesia.
Dalam catatan, tahun lalu, mobil Ford hanya terjual 6.013 unit (ritel). Angka itu hanya mencicipi 0,6 pangsa pasar mobil di Indonesia. Tentu ini sangat minim dibandingkan produk asal Jepang. Menurut data Gaikindo, seluruh penjualan Ford sepanjang 2015 mencapai angka 4.986 unit. Di Indonesia, mereka meniagakan Fiesta, EcoSport, Escape, Everest dan Focus. Dari model tersebut, EcoSport berkontribusi paling besar dengan angka 2.713 unit. Jumlah ini turun lebih dari 50 persen dibanding tahun sebelumnya. Pada 2014, Ford Indonesia berhasil menjual sebanyak 12.008 unit kendaraan.
Tentu saja FMI terpukul, sebab penjualan otomotif sebenarnya sedang tumbuh baik di Indonesia. Peluang di pasar juga masih sangat prospek. Data Badan Koordinasi dan Penanaman Modal (BKPM) tahun 2015 menunjukkan bahwa realisasi investasi sektor industri alat angkutan dan transportasi, termasuk di dalamnya otomotif, mencapai Rp 23,57 triliun. Ini naik 6,5 persen dibandingkan realisasi tahun 2014 sebesar Rp 22,13 triliun. Sedangkan untuk investasi asing yang khusus sektor otomotif baik industri maupun jasa (perdagangan dan reparasi) tercatat mencapai Rp 21,6 triliun meningkat 13 persen dari tahun sebelumnya Rp 19 triliun.
Putusan FMI secara bisnis untuk menghentikan operasionalnya bisa diterima. Tetapi apakah putusan tersebut rasional, sebab pasar Indonesia masih sangat luas dan terbuka. Apakah ada kaitannya dengan usaha mengambilalih Freeport? Benarkah ini bukan pertanda awal bagi pebisnis AS untuk mundur pelan-pelan dari Indonesia. Diharapkan pemerintah melakukan hitungan laba-rugi jikalau seandainya ini merupakan gelundungan dari sebuah bola salju “hengkangâ€.
Komunikasi dengan manajeman Ford maupun investor internasional lainnya tetap perlu berkesinambungan. Ini penting untuk mengambil langkah antisipatif dan tetap menjaga pasar investasi di Indonesia tetap menarik bagi asing.(**)