Jakarta (harianSIB.com)
Wakil Ketua DPD RI Sultan B Najamudin mengaku DPD RI masih konsisten memperjuangkan kepentingan politik kewenangan lembaga DPD RI melalui amandemen konstitusi.
"Pada prinsipnya DPD RI sejak awal sudah mendorong wacana amandemen konstitusi sebagai urgensi politik kebangsaan yang patut untuk diperhatikan bersama oleh semua kekuatan politik nasional baik kekuatan politik formal seperti pemerintah, MPR, DPR maupun kekuatan politik non formal seperti ormas dan kelompok intelektual kampus dan lain-lain", kata Sultan dalam keterangan resminya kepada wartawan, termasuk jurnalis Koran SIB Jamida P. Habeahan, Senin (21/3/2022).
Menurut Sultan, sangat beralasan karena pasca reformasi, sistem demokrasi Indonesia justru bergerak liar melampaui batas-batas nilai demokrasi itu sendiri. Terutama terkait jati diri demokrasi Indonesia, yakni demokrasi Pancasila.
Telah direvisi gagasan-gagasan demokrasi Pancasila orde baru lebih dari yang kita butuhkan. Termasuk terkait GBHN atau yang saat ini diperkenalkan kembali oleh MPR dengan istilah PPHN. Juga di dalamnya terkait mekanisme pemilu, dari sistem perwakilan menjadi pemilu langsung yang saat ini dipraktekkan.
“Kami ingin mempertegas tidak proporsional jika amandemen hanya diperuntukkan pada penambahan pasal tentang PPHN", kata Sultan.
Sultan melanjutkan, fakta-fakta politik yang cenderung sangat ekstraktif dan terhegemoni oleh pengaruh kekuasaan eksekutif sudah saatnya dikendalikan dengan sistem pembagian kekuasaan yang lebih proporsional.
Mantan Wakil Gubernur Bengkulu itu berpendapat, fenomena rasio semakin melebar dan inflasi harga pangan yang meluas. Sementara kita bersedia untuk membiayai proses pemilu langsung serentak yang sedemikian mahal biayanya.
Anggaran puluhan triliun rupiah yang diajukan KPU, kata dia, tentunya akan lebih baik jika dialihkan untuk membangun IKN, atau memperkuat sistem subsidi pangan bagi masyarakat. Di sisi lain, kata Sultan, kerentanan sosial akibat pemilu sangat penting untuk dikaji secara bersama-sama.
"Kita tidak boleh permisif dengan mekanisme politik yang berpotensi menimbulkan segregasi sosial politik di era digital saat ini. Karena cepat atau lambat polarisasi sosial politik akan berubah menjadi ancaman nasional yang serius dalam jangka panjang," kata Sultan.
Menurut dia, hal ini menjadi diskursus politik yang sangat penting untuk dikaji bersama. sehingga, amandemen konstitusi harus menjadi titik balik pemulihan demokrasi Indonesia akibat praktik pemilu langsung yang cenderung hanya berorientasi pada demokrasi prosedural, serta sangat tidak efisiensi dan tentunya jauh dari efektifitas praktek demokrasi yang substansial.
" Jika dibutuhkan DPD akan mendorong agar amandemen harus diawali dengan kontrak politik bersama. Tentang pasal atau ketentuan mana, yang akan diamandemen," katanya. (*)