Polusi udara adalah masalah bersama yang mengancam kesehatan dan perekonomian penduduk kota-kota di dunia. Perbaikan kualitas udara membutuhkan kolaborasi global dan regional.
Demikian kesimpulan diskusi bertajuk “Hari Udara Bersih Dunia: Menyongsong Langit Biru Jakarta”, dalam keterangan persnya, yang dilaksanakan oleh Clean Air Catalyst secara online dari Bangkok, Thailand, pada hari Kamis, 9 September 2022, menyusul rangkaian acara perayaan The International Day of Clean Air for Blue Skies (Hari Udara Bersih Dunia Menyongsong Langit Biru) ketiga, yang jatuh pada Rabu, 7 September 2022.
Clean Air Catalyst adalah konsorsium global yang bertujuan untuk merancang solusi yang sesuai dan berbasis data untuk masalah-masalah polusi udara.
The International Day of Clean Air for Blue Skies merupakan tindak lanjut dari ajakan Persatuan Bangsa-Bangsa terhadap negara-negara dan pihak terkait lainnya untuk mengevaluasi dan meningkatkan upaya mencapai perbaikan kualitas udara secara global.
Clean Air Catalyst, yang diwakili Muhammad Shidiq, Air Quality Lead World Resources Institute (WRI) Indonesia, yang juga memimpin implementasi Clean Air Catalyst di Jakarta, dan Fadhli Zakiy, Project Manager for Air Quality and Cities WRI Indonesia, berpartisipasi dalam acara The International Day of Clean Air for Blue Skies ketiga di Bangkok, Thailand, dengan berbagi solusi dan informasi berdasarkan tantangan kualitas udara yang saat ini sedang dihadapi oleh Jakarta sebagai ibukota negara Indonesia.
Air Quality Lead WRI Indonesia, Muhammad Shidiq, menyatakan, “Indonesia bersama negara-negara lainnya di Kawasan Asia Pasifik harus bersama-sama mencari solusi terbaik bagi tantangan polusi udara. Karena polusi udara bukan hanya menjadi pemicu kematian yang disebabkan oleh kanker paru-paru, tetapi juga berpotensi berdampak negatif terhadap perekonomian negara.”[br]
Berdasarkan studi dari World Air Quality Report di tahun 2020, dari 40 kota-kota yang paling terdampak polusi di dunia, 37 di antaranya terletak di Asia Selatan.
Kualitas udara yang buruk berdampak negatif terhadap kesehatan penduduk, sehingga pada tahun 2015 sebagian besar angka kematian yang terjadi secara global disebabkan oleh polusi udara ambient, yang 35% terjadi di Asia Timur dan Asia Pasifik, dan sekitar 33% terjadi di Asia Selatan.
“Pencemaran udara berpotensi menurunkan kualitas kesehatan, menyebabkan kematian dini, dan menurunkan produktivitas masyarakat,” urai Shidiq.
“Studi Globecon Report di tahun 2020 menunjukkan kanker paru-paru adalah penyebab terbesar kematian yang terkait dengan kanker pada penduduk laki-laki dan perempuan di ASEAN, yaitu sejumlah 109.520. Di sisi lain, polusi udara diperkirakan akan memicu penurunan 1% sampai 2.5% GDP di sejumlah negara Asia pada 2060, berdasarkan OECD Report," lanjutnya.
Menurut Shidiq, solusi untuk mengatasi masalah kualitas udara adalah dengan mendorong kebijakan-kebijakan pencegahan polusi udara, seperti regulasi emisi kendaraan, ambang batas emisi pabrik, dan pengaturan wilayah pemukiman-industri.
Jakarta kerap memberikan kontribusi yang paling tinggi terhadap ekonomi nasional. Data terakhir pada tahun 2021, Jakarta menyumbang 17,19% terhadap ekonomi nasional.
Di sisi lain banyaknya kepentingan yang beragam menjadikan Jakarta rentan terhadap polusi udara yang mengancam 10,6 juta jiwa warganya.
Dilihat dari perspektif atribusi sumber pencemar bergerak, wilayah Jakarta dikelilingi oleh banyak kota satelit industri besar (Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi) dengan pabrik-pabrik dan kepentingan manufaktur di mana orang-orang di kota-kota ini melakukan perjalanan pulang-pergi.
Dari sumber pencemar non-mobile, pembangkit listrik (kebanyakan berbasis batubara) juga terletak di kota-kota satelit yang mengelilingi Jakarta yang menghasilkan polutan udara berbahaya yang berdampak pada Jakarta.
Sementara Project Manager for Air Quality and Cities, WRI Indonesia, Fadhly Zakiy, mengutarakan, “upaya untukmencari solusi terhadap polusi udara tidak bisa dilakukan sendiri-sendiri oleh setiap kota atau negara.
Sebab itu, saat ini telah berlangsung sejumlah kolaborasi, antara lain Climate and Clean Air Coalition (CCAC), Asia Pacific Clean Air Partnership (APCAP), ASEAN Transboundary Haze Pollution, dan (Acid Deposition Monitoring Network in East Asia (EANET), yang memiliki inisiatif di kawasan dalam melakukan upaya mencegah polusi udara lintas batas.”[br]
Menurutnya kolaborasi yang dilakukan oleh Indonesia, antara lain melalui Clean Air Catalyst, bertujuan untuk melakukan integrasi keahlian teknis yang datang dari beragam negara, berbagi pengetahuan untuk menangkap pergerakan air pollutants yang bersifat lintas-batas, mentransformasi kebijakan menjadi solusi praktis, dan menggerakkan kolaborasi aktif intra-regional dan internasional untuk meningkatkan kapasitas teknis, legal, dan institusional dari negara-negara yang tergabung di dalamnya.”
Shidig menambahkan, di Indonesia, terutama di Jakarta, Clean Air Catalyst berusaha memberikan kontribusi terhadap upaya pemerintah dan masyarakat dalam upaya memecahkan permasalahan kualitas udara, melalui pemetaan masalah polusi udara dengan mempertimbangkan perubahan iklim, gender, dan ekuitas.
“Ini dilakukan dengan peletakan alat pemantauan kualitas udara di daerah dengan paparan polusi udara tinggi dan dihuni oleh populasi rentan, meluncurkan beberapa pemantauan mobile bekerja sama dengan Google Cars yang menjangkau komunitas rentan, melakukan kajian Information Ecosystem Analysis (IEA) untuk mengetahui persepsi masyarakat tentang polusi udara, dan melakukan seri workshop yang melibatkan akademisi, pemerintah, lembaga masyarakat dan swasta untuk memetakan permasalahan polusi udara yang berkaitan dengan perubahan iklim, gender, dan ekuitas,” katanya. (*)